AGROTEKNOLOGI

Fisiologi Tumbuhan

product

^_^

fisiologi | Hormon

Berbagi Ilmu

product

^_^

Detail | Add to cart

Ilmu Alam

product

^_^

Detail | Add to cart

Pengangkutan Auksin


   Hal yang mengherankan menganai kemampuan IAA sebagai hormon ialah caranya diangkut dari satu organ atau jaringan ke organ atau jaringan lain. Berlainan dengan pergerakan gula, ion, IAA biasanya tidak dipindahkan melalui tabung tipsi floem atau mungkin melalui xilem, tepi terutama memlaui sel parenkima yang bersinggungan dengan berkas pembuluh (Jacobs 1979; Aloni 1987). IAA akan bergerak melalui tabung tipis jika diberikan di permukaan daun yang cukuo matang untuk mengangkut gula keluar, tapi biasanya pengangkutan pada batang dan tangkai daun berasal dari daun muda menuju arah bawah sepanjang berkas pembuluh, Bahkan auksin tiruan yang diberikan pada tumbuhan bergerakan seperti IAA.

   Cara pengankutan ini memiliki keistimewaan yang berbeda dengan pangangkutan floem. Pertama, pergerakan auksin itu lambat, hanya sekitar 1 cm jam-1 di akar dan batang, meskipun pergerakan itu masih 10 kali lebih cepar dibandingkan dengan melalui difusi. Kedua, pengangkutan auksin berlangsung secara polar pada batang; arahnya lebih basipetal (mencari dasar), tanpa menghiraukan dasar tersebut berada pada posisi normal atau terbalik. Pengangkutan di akar juga berlangsung secara polar, tapi arahnya akropetal (mencari apeks). Ketiga, pergerakan auksin memerlukan energi metabolisme, seperti ditunjukkan oleh kemampuan zat penghambat ATP atau keadaan kurang oksigen dalam menghambat pergerakan itu. Zat penghambat kuat lainya untuk pengangkutan auksin adalah asam 2,3,4-triiodobenzoat (TIBA) dan asam alfa-naftilalamat (NPA), walaupun TIBA dan NPA secara khusus terlibat dalam proses pengangkutan auksin, bukan dalam metabolisme energi. Kedua senyawa tersebut sering disebut antiauksin.

   Bagaimana terjadinya pengangkutan auksin secara polar?                                              
    Hipotesis yang paling dikenal mula-mula menyebutkan bahwa sel menggunakan ATPase memberan plasma untuk memompa H+ dari sitosol menuju dinding sel. pH dinding sel yang lebih rendah (sekitar 5) mempertahankan gugus karboksil auksin menjadi kurang terdisiosasi daripada yang sitosol, yang pHnya lebih tinggi (7-7,5). Auksin-tak bermuatan kemudian bergerak dari dinding ke sitosol melalui kotranspor H+ . Nyatanya, kajian yang menggunakan kantung membran plasma dipisahkan menunjukkan bahwa kontranspor meliputi penyerapan sutu H+ untuk setiap molekul IAA (Sabater dan Rubery, 1987; Heyn dkk, 1987). Di sitosol, pH yang lebih tinggi meyebabkan gugus karboksil auksin terdisosasi dan menjadi bermuatan megatif. Sejalan dengan meningkatnya konsentrasi auksin bermuatan (misalnya , IAA) di sitosol, pergerakan keluarnya lebih dipermudah secara termodinamika. Tapi pengangkutan secara polar melalui organ mesyaratkan auksin untuk bergerak keluar hanya dari ujung dasar sel. Sedangkan masuknya melalui ujung dasar tersebut menandakan bahwa suatu pembawa di daerah membran mengangkut auksin bermuatan keluar meyebabkan sebagian besar auksin menjadi tak bermuatan. Hipotesis kemiosmotik untuk pengangkutan ini dirangkum dalam gambar 1.

    Masalah penting berkenaan dengan hipotesis pangangkutan ini sudah diteliti, yakni tentang bagaiaman acara auksin bermuatan diangkut keluar melalui ujung dasar sel, padahal cara pengangkutan seperti itu memerlukan sel yang terpolarisasi untuk dapat meyerap di satu ujung dan mengeluarkan di ujung yang lain.  Bukti langsung adanya pengangkutan auksin yang letaknya terpolarisasi di ujung dasar sel batang kapri diperoleh Jacobs dan Gilbert (19830. Pengangkutan ini terhambat oleh NPA; barangkali itu menunjukkan cara antiauksin menghalangi pengangkutan auksin secara basipetal. Tampaknya, TIBA mengahambat pada tapak yang sama (Goldsmith, 1982).

   Mekanisme pengangkutan auksin secara polar masih memerlukan banyak kajian, sekalipun pengangkutan polar menuruni batang dari daun muda atau sel meristematik ujung tajuk sudah diketahui. Masalah yang menarik tentang kemungkinan cara pengendalianya diteliti oleh Jacobs dan Rubery (1988). Mereka menemukan bahwa flavonoid tertentu banyak terdapat dalam sel tumbuhan, khususnya quersetin, apigenin, dan kaemprefol, merupakan penghambat bagi pengangkut basal yang mengeluarkan auksin dari sel. Semua senyawa tersebut barangkali berlaku sebagai bagian dari sistem kendali pengangkutan auksin. Mungkin pengangkutan tersebut penting untuk mengatur berbagai proses semacam itu, seperti aktivitas pembaharuan kambium pembuluh pada tumbuhan berkayu pada musim semi, deferensiasi normal pada xilem dan floem dasar daun, pertumbuhan sel batang dan mungkin untuk menghambat perkembangan kuncup samping. Pengangkutan menuju sel kolieptil, yang secara langsung berada di bawah potongan agar pada gambar klik disini  inilah yang meyebabkan pemanjangan di daerah itu, sehingga akhirnya terbentuk bengkokan.




Gambar 1:
 Model kemiostik untuk menjelaskan pengangkutan IAA secara basipetal dalam sel hidup. Pompa proton yang dijalankan oleh ATP membran plasma (tak terlihat) mempertahanka pH dinding tetap lebih rendah daripada pH sitosol. Diduga ada dua protein penerima (juga tak terlihat). Satu penerima mengangkut IAAH (IAA tak terdisosiasi) menuju puncak sel melalui kontranspor dengan proton, menurunkan gradien energi-bebas mereka; penerima lainya di dasar sel mengangkut IAA keluar dari sel.


Sintesis dan perusakan auksin (IAA)

   Secara kimia auksin (IAA) mirip dengan asam amino triptofan (walaupun sering 1000 kali lebihencer) dan barangkali memang disintesis dari tripofan. Ada dua jenis mekanisme sintesis yang dikenal (Gambar 1) dan keduanya meliputi pengusiran gugus asam amino dan gugus karbonsil-akhir dari cincin samping triptofon (Sembdner dkk, 1980, Cohen dan Bialek, 1984; Reinecke dan Badruski, 1987). Lintasan yang lebih banyak terjadi pada sebagian besar spesies barangkali mencakup tahapan berikut: gugus amino bergabung dengan sebuah asam alfa-keto melalui reaksi transaminasi menjadi asam indolpiruvat, kemudian dekarbosilisasi indolpiruvat membentuk indolasetaldehid; akhirnya, indolasetat delhid dioksidasi menjadi IAA. Enzim yang paling aktif diperlukan untuk mengubah triptofan menjadi IAA terdapat di jaringan muda, seperti  meristem tajuk, serta daun dan buah yang sedang tumbuh. Di semua jaringan ini, kandungan auksin juga paling tinggi, yang menunjukkan bahwa IAA memang diturunkan bukan dari  bentuk-D, dan hal ini dianggap tidak alami (Mc-Queen-Mason dan Hamilton 1989; Tsurusaki dkk,1990). Kemungkinan tersebut perlu diteliti lebih cermat lagi agar kita dapat memastikan kepentingannya dan cara pembentukkanya.  

   Tampaknya cukup masuk akal bahwa tumbuhan memiliki mekanisme untuk mengendalikan jumlah hormon potensial seperti IAA. Laju sintesis merupakan salah satu mekanisme, dan ketidak aktifan  sementara melalui pembentukan konjugat auksin adalah mekanisme yang lain lagi. Pada konjugat, disebut juga auksin terikat, gugus  karbonsil IAA (yang paling banyak dikaji di antara jenis auksin) bergabung secara kovalen dengan molekul lain membentuk beberapa turunan. Jenis konjugat IAA sudah banyak dikenal, termasuk peptida asam indolasetil aspartat dan ester IAA-inositol dan IAA-glukosa. Umumnya tumbuhan melepaskan dapat melepaskan IAA dari konjugat ini dengan bantuan enzim hidrolase, yang menunjukkan bahwa konjugat merupakan bentuk cadangan IAA. Pada kecembah serealia-bulir, konjugat tersebut adalah bentuk penting IAA yang dapat diangkut, terutama dari endosprm biji, melalui xilem, menuju ujung kolieptil dan daun muda. Tampaknya, lintasan itulah yang berlaku sehingga auksin mencapai ujung kolieptil, seperti yang di temukan Went.

  Ada dua proses lain untuk menyingkirkan IAA, yang bersifat merusak. Yang pertama meliputi oksidasi dengan O2 dan hilangnya gugus karboksil sebagai CO2 . Hasilnya bermacam-macam, tapi biasanya yang utama adalah 3-metilienoksindol. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah IAA oksidase, dan semuanya atau hampir semuanya sama dengan peroksidase yang berperan dalam langkah awal pembentukan lignin. Dalam penelitian dengan beech dan horseradish misalnya, ditemukan  20 isozim peroksidase dan semuanya memiliki aktivitas sebagai IAA oksidase (Grove dan Hoyle, 1975). Auksin tiruan tidak dirusakkan oleh enzim enzim oksidase ini, sehingga jenis auksin itu bisa bertahan lebih lama dalam tumbuhan daripada IAA. Auksin terkonjugat juga tahan terhadap IAA oksidase.

  Belum lama ini, lintasan–kedua perusakan IAA ditemukan pada tumbuhan dikotil dan monokotil. Pada lintasan tersebut tersebut, gugus karboksil IAA tidak hilang, tapi karbon 2 pada cincin  heterosikliknya. Rincian lintasan perusakan ini masih belum diketahui, namun terbukti jauh lebih penting daripada yang melibatkan IAA oksidase.


 Asam Indolasetat (IAA)
Gambat 1: Kemungkinan mekanisme pembentukan IAA pada
jaringan tumbuhan.

Auksin


Auksin
   Istilah auksin (dari bahasa yunani auxein,“meingkatkan”) pertama kali digunakan oleh Frits Went, seorang mahasiswa pascasarjana di Negeri Belanda pada tahun 1926, yang menemukan bahwa suatu senyawa yang belum dapat dicirikan mungkin meyebabkan pembekokan koleoptil oat ke arah cahaya. Fenomena pembengkokan ini, yang disebut fototropisme. Senyawa yang ditemukan Went didapati cukup banyk diujung kolieptil, Gambar 1, menunjukkan upaya Went untuk menjelaskan hal tersebut. Hal penting yang ingin diperlihatkan ialah bahwa bahan tersebut dapat berdifusi dari ujung kolieptil menuju potongan kecil agar. Aktivitas auksin dapat dilacak melalui pembengkokan kolieptil yang terjadi akibat terpacunya pemanjangan pada sisi yang ditempeli potongan agar.

  Auksin ditemukan Went kini diketahui sebagai asam indolasetat (IAA, Gambar 2), dan beberapa ahli fisiologi masih menyamakan IAA dengan auksin. Namun, tumbuhan mengandung tiga senyawa lain yang strukturnya mirip dengan IAA; ketiga senyawa tersebut dapat dianggap sebagai hormon auksin (gambar 2). Salah satunya adalah asam 4-kloroindolasetat (4-kloroIAA) yang ditemukan pada biji muda berbagai jenis kacang-kacangan (Engvild, 1986). Yang lainya, asam fenilasetat (PAA), ditemui pada banyak jenis tumbuhan dan sering lebih banyak jumlahnya daripada IAA, walaupun kurang aktif dalam menimbulkan respons khas IAA (Wightman dan Lighty, 1982; Leuba dan Le Torneau,1990). Yang ketiga, asam indolbutirat (IBA), yang ditemukan belakangan; semula diduga hanya merupakan auksin tiruan yang aktif, namun ternyata ditemukan pada daun jagung dan berbagai jenis tumbuhan dikotil (Schineider dkk, 1985; Epstein dkk, 1989) sehingga barangkali zat tersebut tersebar luas pada dunia tumbuhan.

 Hanya sedikit saja yang diketahui tentang penganngkutan khas 4-kloroIAA, PAA atau IBA, dan apakah ketiha zat itu tersebut memang secara normal berfungsi sebagai hormon tumbuhan sekalipun tampaknya memang demikian.


Gambar 2: Peragaan oleh Went untuk memperlihatkan auksin diujung kolieptil avena. Auksin ditunjukkan dengan titik-titik. (a) Ujung dipotong dan diletakkan di atas sebuah balok agar. (b) Kecambah lain dipersiapkan dengan cara dibuang ujungnya, dibiarkan selama “ujung fisiologis” yang baru kadang-kadang terbentuk. (c) Daun di dalam kolieptil tertarik keluar, dan balok agar yang mengandung auksin diletakkan di sisinya. (d) Auksin bergerak masuk ke kolieptil dari satu sisi, yang mengakibatkan kolieoptil membengkok. ( Dari Salisbury dan Parke, 1964).


   Senyawa lain yang ditemukan pada banyak tumbuhan mempunyai aktivitas auksin yang tinggi. Ketiganya dengan mudah teroksidasi menjadi IAA in vivo dan barangkali hanya aktif setelah peralihan tersebut. Ketiga zat itu belum kami masukan dalam kelompok auksin (menurut buku Saliburyy dan Ross, 1992), melainkan hanya sebagai prazat auksin. Mereka adalah indolasetaldehind, indolasetonitril, dan indoletanol. Masing-masing memiliki struktur serupa dengan IAA, hanya tak ada gugus karbonsilnya. Senyawa tertentu yang disintesis oleh ahli kimia juga mampu menimbulkan banyak respons fisiologis seperti yang ditimbulkan oleh IAA, dan biasanya senyawa itu dianggap sebagai auksin juga. Beberapa di antaranya yang paling dikenal baik ialah asam alfa-naftalenasetat (NAA), asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), dan asam 2-metil-4-klorofenosiatetat (MCPA). Karena ketiga senyawa tersebut tidak disintesis tumbuhan, maka tidak disebut hormon, tapi dikelompokkan sebagai zat pengatur tumbuh tanaman. Banyak jenis senyawa lain bisa dimasukkan ke dalam kelompok ini. Istilah auksin menjadi semakin meluas sejak IAA ditemukan oleh Went, sebab banyak sekali senyawa yang strukturnya miripdengan IAAdan meyebabkan respons serupa pula. Walaupun demikian, semua senyawa lirauksin tersebut mirip dengan auksin karena memiliki sebuah gugus lain yang mengandung karbon (biasanya –CH2-), yang akhirnya berhubungan dengan sebuah cincin aromatik.
  

 Gambar 1.








Efek hormon pada aktifitas gen

   Kini ditemukan kesimpulan yang pasti bahwa salah satu hal yang dikerjakan hormon tumbuhan adalah mengendalikan aktivitas gen. Bagaimana cara gen dikendalikan secara biokimia belum banyak diketahui. Perlu ditekankan di sini bahwa pengaktifan gen mengandung arti terjadi proses penguatan yang tinggi. Ini karena transkripsi berulang DNA menjadi mRNA kurir, yang diikuti oleh translasi mRNA menjadi enzim yang memiliki aktivitas katalis yang tinggi pada konsentrasi rendah dapat menghasilkan banyak salinan produk sel yang penting. Lalu, produk sel/sintesis sel ini menentukan jenis organismenya, dan tentu saja wujud penampilanya (fenotipnya).

   Ada berbagai titik kendali dalam aliran informasi genetik, dari DNA sampai menjadi sebuah produk molekul. Salah satunya, yang barangkali paling penting, terdapat pada tingkat transkripsi. Titik kendali lainya, juga terdapat di inti, mencakup pengolahan mRNA, sebab sebagian besar molekul mRNA  terurai sebagaian dan beberapa bagian terangkai kembali sebelum mereka meninggalkan inti. Langkah pengolahan ini dikendalikan oleh enzim yang kerjanya pasti diatur, dan mungkin hormon berperan dalam pengaturan ini. Selanjutnya, mRNA meninggalkan inti, barangkali melalui pori inti. Di sitosol, mRNA dapat ditranslasikan pada ribosom atau dirusak oleh ribonuklease. Jika mRNA ditranslasi menjadi enzim, perubahan pascatranslasi enzim tersebut dapat terjadi melalui berbagai proses, seperti fosforilasi, metilasi, asetilasi, glikosidasi, dan sebagainya. Semua ini mungkin dipengaruhi oleh hormon.

Beberapa kemungkinan titik kendali hormon di rangkum dalam gambar 1.


Konsep perbedaan kepekaan terhadap hormon


Konsep perbedaan kepekaan terhadap hormon
  Pada awal tahun 1980an, Anthony J Trewavas berulang kali menekankan konsep bahwa perbedaan kepekaan jauh lebih penting dalam menentukan efek suatu hormon daripada kosentrasi hormon tersebut dalam sel (baca misalnya, Trewavas 1982, 1987, dan bahasan yang diterbitkan bersama oleh Trewavas dan Cleland, 1983). Walaupun banyak peneliti dengan meyakinkan mendebat seluruh kesimpulan Trewavas, tulisanya tetap mendorong peneliti untuk memperhitungkan dan, bila mungkin mengukur kepekaan jaringan terhadap hormon. Kini, kepekaan dan konsentrasi hormon mendapat perhatian dalam berbagai penelitian tentang cara kerja hormon (baca juga Firn, 1986).

  Kita tahu, agar hormon dalam tumbuhan terdapat dalam jumlah mikromolar atau submikromolar itu bersifat aktif dan khas, dapat dipastikan harus ada tiga bagian utama pada sistem respons. Yang pertama, hormon harus ada dalam jumlah cukup di sel yang tepat. Yang kedua, hormon harus dikenali dan diikat erat oleh setiap kelompok sel yang tanggap terhadap hormon (sel sasaran). Molekul protein memiliki struktur kompleks yang diperlukan untuk mengenali dan memilih di antara sejumlah molekul yang lebih kecil dan berdasarkan pengetahuan tentang cara kerja berdasarkan pengetahuan tentang cara kerja hormon pada hewan, protein pengikat hormon pada membran plasma sel tumbuhan dapat dicirikan. Protein seperti itu disebut protein penerima. Yang ketiga, protein penerima tersebut (konfigurasinya diduga berubah saat mengikat hormon) harus meyebabkan perubahan metabolik lain yang mengarah pada penguatan isyarat atau kurir horomon. Nyatanya, proses penguatan terjadi secara berurutan, sebelum respons terhadap hormon akhirnya terjadi.

   Dengan adanya sistem respons seperti itu, respons berbagai bagian tumbuhan terhadap berbagai jenis hormon yang diberikan dari luar tidak lagi membingungkan. Perubahan yang sejalan dengan perkembangan, bahkan yang terjadi pada satu jaringan spesies tertentu pun hampir selalu diikuti dengan perubahan konsentrasi hormon. Selain  itu, juga terjadi perubahan konsentrasi hormon. Selain itu, juga protein penerima dan perubahan kemampuan dalam memperkuat isyarat hormon. Bagian lain mungkin memberikan respons dengan cara yang berbeda.

Konsep Hormon dan cara kerjanya


Batasan hormon
Apakah hormon tumbuhan itu? Sebagian besar ahli fisiologi tumbuhan menerima batasan yang mirip dengan batasan untuk hormon pada hewan:
   Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahakan ke bagian lain, dan pada kosentrasi yang rendah menimbulakan suatu respons fisiologis. Respon pada organ sasaran tidak perlu bersifat memacu, karena proses seperti pertumbuhan atau diferensiasi kadang malah terhabat oleh hormon, terutama oleh asam absisat. Karena hormon harus disintesis oleh tumbuhan, maka ion K+  atau Ca2+ , yang dapat juga menimbulkan respons penting, dikatakan bukan hormon. Zat pengatur tumbuh organik yang disintesis oleh ahli kimia organik (misalnya, 2,4-D, sejenis auksin), atau yang disintesis organisme selain tumbuhan, juga bukan hormon. Batasan tersebut menyatakan pula bahwa hormon harus dapat dipindahkan di dalam tubuh tumbuhan, namun tidak dijelaskan bagaimana atau sejauh mana pemindahan itu; tidak pula berarti bahwa hormon tidak menimbulkan respons pada sel yang mensintesisnya. (Etilen dan zat pemasak buah lainya merupakan contoh yang baik; hampir dapat dipastikan bahwa etilen memacu pemasakan semua sel yang membuatnya, dan sel lainya juga). Sukrosa tidak dipandang sebagai hormon, walaupun disintesis dan dipindahkan dalam tumbuhan, sebab zat itu menyebabkan pertumbuhan hanya pada konsentrasi cukup tinggi. Hormon sering sudah efektif pada kosentrasi-dalam mendekati 1µM, sedangkan gula, asam amino, asam organik, dan beberapa metabolit lainya yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan (tidak termasuk enzim dan sebagian besar koenzim) biasanya terdapat pada kosentrasi 1 samapai 5 µM.

   Gagasan bahwa perkembangan tumbuhan dipengaruhi oleh zat kimia tertentu bukanlah hal baru. Sekitar 100 tahun yang lalu, seorang ahli botani berkebangsaan jerman, Julius von sachs, mengemukakan bahwa pembentuk organ yang khas terdapat dalam tumbuhan. Ia menduga bahwa salah satu bahan meyebabkan pertumbuhan batang, yang lainya memacu pertumbuhan daun, akar, bunga atau buah. Namun zat kimia yang khas pada suatu organ belum pernah dapat dicirikan. Karena kosentrasi hormon yang amat rendah pada tumbuhan, maka hormon pertama yang ditemukan adalah (asam indolasesat) baru dapat dicirikan pada tahun 1930-an; bahkan pada saat itu hormon tersebut mula-mula dimurnikan dari air seni. Karena hormon itu dapat meyebabkan begitu banyak respons, bila diberikan dari luar kepada tumbuhan, maka oleh banyak orang hormon itu dianggap sebagai satu-satunya hormon tumbuhan. Anggapan itu terbantahkan ketika berbagai efek gibrelin ditemukan pada tahun 1950-an.

    Ketika semakin banyak hormon dapat dicirikan dan efek serta kosentrasi endogenya dikaji, dua hal yang menjadi jelas. Yang pertama, setiap hormon mempengaruhi respons pada banyak bagian tumbuhan. Kedua, respons itu bergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase perkembanganya, konsentrasi hormon, interaksi antarhormon yang diketahui, dan berbagai faktor lingkungan. Oleh karena itu, terlalu gegabah bila dikatakan bahwa efek hormon berlaku umum pada proses perkembangan suatu organ atau jaringan tumbuhan tertentu. Jadi konsep Sachs yang mengatakan bahwa jaringan yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda terhadap zat kimia yang berbeda, memang dapat diterima.


bahan bacaan dari:
Frank B Salisbury dan Cleon W Ross
Fisiologi tumbuhan: jilid 3,