Mekanisme
kerja Auksin
Banyak
peneliti telah berulang kali menekankan bahwa kita sesunguhnya belum memahami
cara suatu hormon tumbuh bekerja secara biokimia. Peryataan ini ada benarnya,
tapi tidak seluruhnya tepat. Kita memang sudah memahami banyak proses biokimia
dan fisiologi yang dikendalikan hormo, sekalipun efek yang mengawali proses
tersebut belum begitu jelas. Salah satu efek auksin yang diteliti paling
seksama adalah pemacuan pemanjangan potongan koleoptil oat dan jagung serta
potongan batang berbagai tumbuhan dikotil. Pada sistem uji ini atau uji lainya,
peneliti banyak tertarik pada cepatnya auksin ( atau hormon lain pada sistem
lain) menimbulkan respons, sebab semakin
dini munculnya respons, semakin besar kemungkinan bahwa respons itulah efek
utama hormon tersebut.
Dalam
ulasan yang hati-hati tentang cara kerja
auksin, Cleland (1987) menjelaskan bahwa terpancunya pertumbuhan
potongan koleoptil atau batang oleh auksin terjadi secara cepat. Respons
tersebut dapat mulai tampak dalam waktu 10 menit dan kemudian berlanjut selama
berjam-jam; dan selama waktu tersebut, laju pertumbuhan dapat meningkat 5
sampai 10 kali lipat. Pertumbuhan itu, dengan atau tanpa auksin, memerlukan
peyerapan air, yang berarti bahwa sel
tersebut harus mempertahankan potensial airnya agar selalu lebih negatif
daripada potensial air larutan sekitarnya, tapi juga lebih negatif daripada
potongan potensial air potongan auksin lebih melentur, sehingga potensial
tekanan yang diperlukan untuk mendesak pemelaran sel tersebut tidak sebesar
pada sel yang tak diberi auksin. Kesimpulan yang ditarik dari berbagai
penelitian ialah bahwa auksin mengakibatkan pengenduran dinding, suatu istilah
yang menjelaskan sifat mudah melar atau sifat plastis dinding sel yang diberi
auksin.
Dalam
ulasan tentang masalah ini, Ray (1987) menjelaskan tiga mekanisme yang diyakini
dalam 30 tahun terakhir sebagai pyebab pengenduran dinding, dan hampir semuanya
ditolak. Mekanisme terakhir yang paling populer antara lain karena cukupbanyak
bukti yang mendukung dan karena sedikit seja percobaan yang menolaknya.
Mekanisme ini, yang dikenal sebagai hipotesis pertumbuhan-asam, menyatakan
bahwa auksin meyebabkan sel penerima pada ptongan koleoptil atau potongan batag
mengeluarkan H+ kedingding sel primer yang mengelilinginya dan bahwa
ion H+ ini kemudian menurunakan pH sehingga terjjadipengenduran dan
pertumbuhan yang cepat, pH rendah iniduduga bekerja dengan cara mengaktifkan
beberapa enzim perusak dinding sel tertentu, yang tidak aktif pada pH lebih
tinggi. Enzim tersebut diduga memutuskan ikatan pada polisakarida dinding,
sehingga memungkinkan dinding lebih
mudah meregang. Beberapa telaah yang
sebagian besar mendukung hipotesis pertumbuhan pertumbuhan-asam ini diberikan
oleh Rayle dan Cleland (1979), Taiz
(1984), Evans (1985), dan Cleland (1987).
Hipotesis
pertumbuhan-asam dipertanyakan secara serius dalam kaitanya dengan pemanjangan
batang dikotil, ketika LN Vanderhoef (1980) mendapati bahwa pH rendah dinding
sel potongan hipokotil kedelai mengakibatkan pemanjangan yang lebih cepat hanya
dalam waktu 1 atau 2 jam. Juga, potongankacang kapri memanjang lebih cepat
dengan penambahan auksin, baik diberi garam dari luar (exp: KCL) ataupun tidak;
tapi hanya dengan garam seperti itulah auksin memacu pengasaman dinding sel.
Baru-baru ini Kutschera dan Schopher (1987) meyimpulkan bahwa auksin tidak
mendorong pemanjangan potongan koleoptil jagung melalui pengasaman dinding.
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa walaupun auksin menurunkan pH dinding
sel menjadi sekitar 5, pH masih harus diturunkan lagi (3,5 samapai 4) agar
dinding mengendur beberapa kali lipat dalam kedaan tanpa auksin. Ini
menjelaskan bahwa tidak kaitanya antra efek auksin dengan pH diding sel dalam
proses pertumbuhan. Walaupun demikian, kemapuan auksin menurunkan pH dinding
mungkin berperan memacu pertumbuhan dalam rentang waktu yang pendek saja.
Bukti tidak
adanya hubungan antara pemacu pertumbuhan (disertai pengenduran dinding) dan
pengasaman dinding pernah diperlihatkan oleh efek sitokonin pada pertumbuhan
kotiledon mentimun (Rayle dkk, 1982; Ross dan Rayle 1982) yaitu bahwa dinding
dapat mengendur akibat pengaruh hormon tanpa mengasamkan dinding. Selanjutnya, penelitian terhadap kotiledon
mentimun dan koleoptil jagung membenerkan bahwa suatu zat pemacu pertumbuhan potensial
yang berasal dari cendawan, fusikoksin, dapat mengasamkan dinding sel sampai
cukup untuk memacu pertumbuhan kedua bahan yang ditelititersebut. Fusikokin
adalah glukosida diterpen yang dicirikan
oleh ahli patologi tumbuhan pada tahun 1960-an, sebagai racun utama yang
menimbulkan gejala penyakit akibat serangan cendawan Fusicoccum amygdali pada pohon persik,dan prem (ditelaah oleh
Marre, 1979). Zat tersebut memiliki kemapuan yang hebat untuk mengaktifkan
ATPase mebran plasma yang mengkut H+ dari sitosol ke dinding sel,
mendorong pengenduran dinding, dan memacu pertumbuhan sel. Walaupun fusikoksin
dapat meningkatkan pertumbuhan koleoptil dan kotiledon karena kemampuanya dalam
memacu pengeluaran H+ , auksin tak dapat memacu pengeluaran dalam
jumlah cukup untuk mendorong pertumbuhan koleoptil jagung, sitokinin pun tak
mampu memacu pengeluran H+ yang cukup untuk mendorong pertumbuhan
kotiledon. Temuan ini mengandung arti bahwa auksin dan hormon lainya pasti
meyebabkan pengenduran dinding sel dan pemelaran sel pada beberapa spesies
melalui mekanisme yang belum diketahui.
Sebagaimana telah diketahui tidak semua sel
memberikan respons terhadap hormon tertentu. Maka, pertanyaan yang muncul: sel
mana yang memberikan respons terhadap auksin? Untuk potongan koleoptil dan
batang dikotil, yang terutama memanjang akibat pemberian auksin adalah sel
epidermis, misalnya hipodermis (jika ada), korteks dan empulur mengandung sel
yang berada dibawah tekanan dan mudah memanjang. Pemanjangannya terbatas, sebab
sel tersebut terikat, melalui polisakarida dinding sel, epidermis yang tak
dapat meregang dengan cepat. Hasil keseluruhanya ialah lapisan subepidermis
memanjang sampai cukup untuk menjadikan dinding sel epidermis yang tumbuh lebih
lambat. Tampaknya, walaupun sel epidermis mempunyai tekanan potensial tekanan
yang positif (ada tekanan turgor), dindingya teregang juga. Tampaknya
tekanan-dalam dan peregangan luar seakan-akan mendorong sel epidermis untuk
tumbuh lebih cepat, hanya saja dindingya tidak meregang dengan cepat, kecuali
bila auksin diberikan lebih banyak agar dinding lebih kendur (ditelaah oleh
Cosgrove 1986 dan Kutchera, 1987, 1989 ). Potongan batang atau koleoptil yang
diletakkan dalam larutan auksin memberikan respons dengan cara mengembangkan
dinding sel epidermis yang sudah menjadi kendur (plastis). Kemudian, sel epidermis
ini memanjang dengan cepat, dan pemanjangan ini myebabkan sel subepidermis yag
sudah menjadi lebih kendur. Kemudian, sel epidermis ini memanjang dengan cepat
dan pemanjangan ini myebabkan sel subepidermis yan menempel padanya juga
memanjang, sehingga keseluruhan koleoptil atau batang memanjang lebih cepat.
Sekarang,
setelah kita mengetahui bahwa epidermislah yang pertama kali memberikan respons
terhadap auksin, maka percobaan terhadap epidermis tampaknya sangat penting
untuk mengetahui jenis auksinya dan kecepatan kerja auksin itu. Penelitian
tersebut telah dimulai dengan upaya untuk mengetahui apakah auksin mengaktifkan
gen apidermis (Dietz dkk, 1990). Tapi, sebelum para ahli fisiologi memberikan
perhatian pada lapisan sel tertentu pada batang, banyak peneliti yang dipelopori
oleh Joe L Key dan Thomas J G, menunjukkan bahwa auksin meyebabkan perubahan
aktivitas gen secara cepat pada potongan hipokotil kedelai. Hasil penelitian
tersebut segera diikuti oleh hasil yang hampir sama pada potongan batang kapri.
Dengan demikian dapat diterima secara luas prinsip yang meyatakan bahwa auksin
dapat mengubah beberapa produk gen (protein) secepat memacu pemanjangan.
Penelitian ini penting karena menunjukkan bahwa auksin bukan saja mempengaruhi
jenis protein yang terbentuk tapi juga bekerja sangat cepat (berart, sebelum
atau segera setelah pertumbuhan mulai terpacu. (baca ulasan Key, 1987;
Guilfoyle 1986; Theologis 1986; Hagen, 1987; dan Key, 1989).