BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman teh masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1684. Daerah Asal dan Penyebaran
Tanaman teh berasal dari daerah subtropis yang terletak pada 25° — 35° Lintang Utara dan 95° — 105° Bujur Timur, terutama terpusat pada kawasan antara 29° Lintang Utara dan 98° Bujur Timur. Daerah ini berada pada wilayah miring berbentuk kipas, terletak di antara pegunungan-pegunungan Naga, Manipuri, dan Lushai di sepanjang perbatasan Assam-Burma di ujung barat, membentang melalui wilayah Cina sampai propinsi Chekiang di ujung timur, dan ke arah selatan melalui pegunungan-pegunungan di Birma (sekarang Myanmar), Thailand, terus ke Vietnam.
Orang Cina sejak 2737 tahun sebelum Masehi telah menggunakan teh sebagai minuman, tetapi di Jepang, teh barn pertama kali ditanam tahun 800 Masehi. Kebiasaan menggunakan teh dalam upacara-upacara tradisional di kedua negara ini masih dilaksanakan hingga saat ini. Pada abad ke-6 Masehi, orang-orang Cina telah memperdagangkan teh dengan Turki, tetapi komoditi ini barn masuk ke Eropa pada awal abad ke-17. Sejarah masuk dan menyebarnya komoditi teh berlangsung sebagai berikut. Tahun 1610, pedagang-pedagang Belanda mengambil komoditi teh dari Cina bagian selatan. Tahun 1660, orang Inggris, terutama penduduk kota London, mulai mengenal minuman teh. Sejak orang Belanda membawa masuk teh ke Eropa, dengan cepat penduduk benua ini menyukai minuman teh tersebut. Tahun 1773, penduduk benua Amerika mulai pula mengenal teh. Kemudian dengan pesat komoditi ini menjadi bahan perdagangan yang penting, terutama di wilayah Amerika bagian utara. Di Afrika, penanaman teh dimulai tahun 1850 dan di Rusia, tahun 1913.
Tanaman teh secara komersial ditanam di beberapa negara yang beriklim panas dan lembap atau bermusim panas yang lembap, dengan musim dingin yang tidak terlalu dingin dan kering yang membentang mulai dari Georgia (bekas Uni Soviet) pada 43° Lintang Utara sampai ke Corrientes pada 27° Lintang Selatan di Argentina.
Perkembangan Teh di Indonesia, sebelum Indonesia merdeka.
Tanaman teh masuk pertama kali ke Indonesia pada tahun 1684, berupa biji teh dari Jepang yang dibawa oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn mengatakan bahwa telah melihat perdu teh muda yang berasal dari Cina. tumbuh di Taman Istana Gubernur Jendral Camphuys, di Jakarta.
Tahun 1826, didatangkan lagi biji teh dari Jepang dan ditanam di Kebun Raya Bogor, dan pada tahun 1827, ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut. Berhasilnya penanaman dalam luasan yang lebih besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh. untuk membuka landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. Pada tahun 1828, di kedua daerah tersebut terdapat ± 180 hektar tanaman teh dengan produksi sekitar 8.000 kg teh kering.
Tahun 1835, Indonesia untuk pertama kalinya mengekspor teh kering ke Amsterdam. Tahun 1866, semua perusahaan perkebunan yang semula dimiliki pemerintah dijual kepada perusahaan perkebunan swasta. Tahun 1870. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) mulai berlaku. Berdasarkan undang-undang ini, pengusaha swasta dapat menyewa tanah negara yang cukup luas untuk jangka waktu yang cukup panjang yaitu 75 tahun. Kesempatan ini mendorong para pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya pada usaha perkebunan, termasuk perkebunan teh.
Tahun 1877, diperkenalkan jenis teh baru yaitu teh Assam dari Sri Lanka (Ceylon) yang ditanam pertama kali oleh Kerkhoven di Kebun Gambung, Jawa Barat. Dengan masuknya jenis teh ini, yang kemudian terbukti tumbuh dengan baik, secara berangsur tanaman teh Cina diganti dengan teh Assam, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. Pada tahun 1910, mulai dibangun perkebunan teh di daerah Simalungun, Sumatera Utara. Demikian pula di Jawa berdiri perkebunan-perkebunan teh, terutama di Jawa Barat yang keadaan iklim dan tanahnya lebih cocok bagi tanaman teh.
Industri teh di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan situasi pasar dunia maupun keadaan di Indonesia sendiri. Pada tahun 1941. luas perkebunan teh di Indonesia adalah sekitar 200.000 ha yang terdiri dari perusahaan perkebunan besar seluas 125.000 ha dan perkebunan teh rakyat 75.000 ha, dengan jumlah total perkebunan sebanyak 299 buah.Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), banyak areal kebun teh yang dikonversikan ke tanaman pangan. Tidak sedikit pula kebun-kebun teh yang terlantar dan mengalami kerusakan. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. kebun-kebun teh yang umumnya masih diusahakan oleh perusahaan milik Belanda, menghadapi berbagai kendala dalam pengusahaannya.
Setelah Indonesia merdeka
Pada tahun 1958, dilakukan pengambilalihan perkebunan teh milik perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris oleh pemerintah Indonesia. Selanjutnya, secara bertahap dilaksanakan usaha rehabilitasi terhadap perkebunan teh yang telah menjadi milik negara tersebut. Selama Pembangunan Lima Tahun, luas areal maupun produksi terus meningkat. Pada tahun 1976, tercatat luas areal 97.725 ha dengan produksi 72.144 ton dan tahun 1984, tercapai luas areal 115.879 ha dengan produksi 127.287 ton. Data tahun 1990 menunjukkan luas perkebunan teh di Indonesia sebesar 129.500 ha, yang terdiri dari perkebunan milik negara (PT Perkebunan Negara) 49.800 ha, perkebunan besar swasta 27.700 ha, dan perkebunan rakyat 52.000 ha. Perkebunan-perkebunan tersebut tersebar di pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu. Sumatera Selatan. Kemudian dibuka pula perkebunan teh di Kalimantan dan Sulawesi.
Sebagai gambaran keadaan komoditi teh di Indonesia, luas areal, produksi, dan ekspor teh Indonesia pada Pelita I — VI. Dalam perkembangannya sebagai produsen teh, dewasa ini secara nasional perusahaan perkebunan teh di Indonesia tergabung dalam Asosiasi Teh Indonesia, dan secara internasional, Indonesia telah menjadi anggota berbagai organisasi teh internasional, seperti: United States Tea Council (Amerika Serikat), United Kingdom Tea Council (Inggris), Australian Tea Council (Australia), International Tea Promotion di Geneva, dan Interna¬tional Tea Committee di Inggris.
Untuk lebih memperkenalkan teh Indonesia kepada para konsumen, Indonesia telah memanfaatkan kegiatan-kegiatan promosi di luar negeri dan berusaha mencari daerah pasaran baru. Negara-negara Timur Tengah, terutama negara-negara kawasan Teluk Persia dan Arab Saudi dewasa ini telah menjadi daerah pasaran baru bagi teh Indonesia. Untuk menunjang tujuan jangka panjang, sebagai negara pengekspor teh, Indonesia telah melaksanakan tindakan-tindakan perbaikan, baik dalam pengelolaan budi daya, panen dan pascapanen, prosesing (diversifikasi hasil dan peningkatan kualitas), sistem pemasaran, maupun usaha-usaha penelitian. Usaha ini sangat menunjang perkembangan komoditi teh.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana pengaruh permasalahan teh yang berkutat pada masalah yang klasik yaitu sitem produksi dan pemasaran pada pengelolaanya dan hasil yang di dapat dari petani the?
1.3 Tujuan
-Mengetahui permasalahan yang terjadi dalam perkebunan teh di Indonesia yaitu berkutat pada masalah system produksi dan pemasaran.
-..Mhasiswa mampu menganalisa dan meilhat permasalahn yang terjadi pada perkebunan the
-Mahasiswa mengetahui komponenj-komponen permasalhan dari perkebunan the
BAB II
2.1 Tinjauan Masalah
PERKEBUNAN teh Indonesia tengah "sakit". Setiap tahun, luas lahan dan produktivitasnya cenderung menurun. Pada 2007-2009, Statistik Perkebunan Indonesia Ditjen Perkebunan mencatat terjadi penyusutan lahan produktif dari 129.599 hektare menjadi 107.087 hektare (berkurang 22.512 hektare). Hal itu tak luput dari sumbangsih penyusutan lahan di Jawa Barat (Jabar). Sebagai "penyumbang" 74 persen kebun teh nasional, dalam jangka waktu tersebut, berdasarkan data Dinas Perkebunan, di Jabar terjadi pengurangan lahan hingga 3-937 hektare, dari semula 101.075 hektare menjadi 97.138 hektare.
Sementara dari produktivitasnya, penurunan terjadi sejak 2005. Pada tahun tersebut, produktivitas rata-rata teh di Jabar yang mencapai 1.622,25 ton (dari luas lahan 102.304,78 hektar) merosot menjadi 1.491 ton pada 2009. Akibatnya, prestasi Indonesia dalam jagat teh internasional tak lagi berkibar. Indonesia yang sebelumnya pernah duduk di peringkat ketiga produsen teh dunia, anjlok ke posisi tujuh. Indonesia merupakan pamungkas dari produsen terbesar secara berturut-turut, yaitu Cina, India, Kenya, Srilanka, Vietnam, dan Turki. Lebih parahnya lagi, Indonesia tersalip oleh Vietnam yang merupakan anggota baru dalam percaturan teh dunia.
Padahal, sebelumnya Vietnam menggali ilmu teh dari Indonesia. Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Usaha Perkebunan Disbun Jabar Mamur Yusuf mengatakan, negara yang baru merdeka pada 1978 itu, sekitar lima tahun lalu gencar menjalin kerja sama di bidang teh dengan Republik Indonesia (RI). Jelas terlihat, Pemerintah Vietnam memang serius berkiprah di dunia teh. Sementara di Indonesia, seperti yang diungkapkan Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo) Jabar Nana Subarna, keseriusan pengelolaan teh lebih terlihat pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Meskipun peluang dan potensi teh Indonesia begitu besar, baik dari perkebunan rakyat, swasta, maupun negara, pemerintah RI masih belum serius menyinergikan-nya. Pemerintah lebih memilih menjalankan peran minimal ketimbang merancang strategi cerdas atau terobosan agar teh nasional bergairah.
Dalam menggenjot produktivitas teh rakyat misalnya, pemerintah sekarang lebih memilih memberikan bantuan sarana dan prasarana. Padahal, strategi jitu tampaknya lebih dibutuhkan karena selama ini dengan luas 50.137 hektare, yangartinya paling luas dibandingkan dengan perkebunan negara (25.899 hektare) dan swasta (21.102 hektare), produktivitas teh rakyat paling rendah. Selain tidak menjangkau semua petani, model bantuan juga tidak menjamin program bisa efektif atau tepat sasaran. Di Kabupaten Garut, misalnya, seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Perkebunan Indriana, masih ada petani nakal yang membuat bantuan tidak tepat sasaran.
Mekanismenya memang melalui pengajuan proposal. Misalnya kelompok petani butuh pupuk atau alat, maka bisa mengajukan. Akan tetapi, ada yang misalnya meminta pupuk untuk teh tetapi rupanya digunakan untuk memupuk tanaman lain," ujarnya. Bantuan parsial dari pusat yang diberikan per kelompok untuk Kab. Garut tahun ini mencapai Rp 320 juta untuk seratus hektare, sedangkan pada 2009 besarnya bantuan Rp 286 juta. Tak hanya itu, strategi cerdas pemerintah juga sangat diperlukan dalam 99pengurusan hak guna usaha (HGU). Sudah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian HGU di bawah kewenangan Badan Pertanahan Nasional belum memiliki standar waktu.
Ketua Dewan Teh Indonesia Abdul Halik menuturkan, hal tersebut juga terjadi untuk perkebunan non-teh. Padahal, untuk bisa bekerja dengan baik, dibutuhkan sarana dan prasarana yang baik pula," ujarnya.
Cenderung lambatnya proses HGU berdampak kepada peluang penyerobotan lahan oleh oknum-oknum tertentu. Di Perkebunan Dayeuhmanggung, Kec. Salawu, Kab. Garut, misalnya, HGU yang turun setelah empat belas tahun pengajuan sejak 1994 memicu penjarahan oknum warga pada 1999-2001 hingga 121 hektare. "Lahan tersebut termasuk lumbung produksi karena berisi tanaman-tanaman muda," kata Administratur Kebun Dayeuhmanggung, Gatot Setiabudi. Hilangnya potensi tersebut tentunya sangat disayangkan karena kualitas teh Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia Atik Dharmadi menuturkan, produk ekspor dari Indonesia selalu diterima internasional karena bebas dari pestisida. "Dari kualitas dan pengolahan pim diakui konsultan dari Srilanka tidak kalah dengan Vietnam ataupun Srilanka," ujar Ketua Gabungan Pengusalia Perkebunan Teh Jabar-Banten cabang Garut, Yanto Cahyana. Bahkan, karena tingginya kandungan katekin (sebagai antioksidan) dibandingkan dengan teh negara lain, teh Indonesia khususnya Moon gambung telah memperoleh penghargaan internasional.
Sayangnya, lagi-lagi penanganannya belum serius benar. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung Kab. Bandung sebagai satu-satunya pusat penelitian teh di Indonesia, belum dioptimalkan. Manajer Pemasaran PPTK Gambung Tri Suwarso Anwar menuturkan, kebanyakan, sarana dan prasarana penelitian adalah pemberian Belanda sekitar pada 1974. "Sementara untuk penelitian tahun lalu mendapat Rp 1,1 miliar, cukup kecil. Sementara tahun ini belum turun," katanya.
Penanganan yang serius tampaknya memang dibutuhkan segera. Karena bagaimanapun, peluang teh Indonesia masih terbuka lebar, khususnya di Eropa Barat seperti Inggris dan Jerman sebagai pembeli teh terbesar, lalu Belanda, Belgia, dan Perancis. Apalagi, Indonesia sudah mampu membuat teh putih yang peluang pasarnya dipastikan terbuka lebar.
Saat ini, Dewan Teh Indonesia dan pemangku kepentingan pertehan telah merancang program gerakan penyelamatan agribisnis teh Indonesia. Untuk merehabilitasi lahan teh rakyat, dibutuhkan Rp 2,5 triliun. Mampukah program itu merangsang munculnya strategi cerdas yang dinanti petani? Semoga saja!
2.2 Pembahasan
Dari uraian diatas ternyata permasalahan dalam teh sangatlah kompleks yaitu tidak hanya berkutat pada masalah klasik system produksi dan pemasaran ,akan tetapi pemanfaatan aktif dalam sistemnya pun juga kurang mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan kurangnya uapaya peberdayaan baik dari sector SDM untuk pengelolaanya maupaun regulasi pemanfaatan lahan untuk membuat perkebunan teh menjadi komoditas yang unggul.
"Masalah sistem produksi dan pemasaran masih menjadi kendala utama industri teh kita,”
Dalam tijaun referensi diatas telah dipaparkan bahwa sebeneranya potensi perkebunan teh sangat menjanjikan kalau permasalahan seperti system,pengelolaan ,pemasaran,dan produksi diperhatikan dengan sesksama sehingga hasil industry perkebunan dapat bermutu secara kuwalitas dan dari segi hasil mempunyai kuantintas yang banyak dengan harga pemasaran yang bagus. Maka untuk kedepan dan untuk kemajuan komoditas industri teh maka perlu upaya menagulangi masalah –masalah tersebut.
2.3 Uapaya –penangulangan.
a. pelaksanaan rehabilitasi tanaman tua. baik berupa penyulaman maupun peremajaan/penanaman baru dengan menggunakan bahan tanaman unggul yang lebih responsif terhadap pemupukan berat, dan memiliki kuantitas serta kualitas produksi yang tinggi;
b. pemberian pupuk pada seluruh pertanaman dengan dosis optimal, tidak hanya pupuk N, P, dan K, tetapi juga dengan pupuk yang mengandung unsur hara lainnya (antara lain Mg dan Zn);
c. pengendalian hama, penyakit, dan gulma secara lebih efektif dengan menggunakan pestisida dan herbisida yang cocok;
d. penerapan cara-cara pemangkasan dan pemetikan yang disesuaikan dengan tindakan-tindakan intensif tersebut di atas, sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil optimal rata-rata tiap tahunnya;
e. pengusahaan bahan tanaman (klon dan bibit kultur jaringan) yang tinggi produktivitas dan kualitas produksinya;
f. pembinaan petani teh secara lebih terkoordinasi, agar mampu menghasilkan bahan olah yang baik.
Semua usaha tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh semua produsen teh di Indonesia, baik PT Perkebunan Negara (PTPN), Perkebunan Besar Swasta, maupun perkebunan teh rakyat.
BAB III
Kesimpulan
1. Masalah sistem produksi dan pemasaran masih menjadi kendala utama industri teh kita.
2. Masalah harus ada pembinaan petani teh secara lebih terkoordinasi, agar mampu menghasilkan bahan olah yang baik.
3. Indonesia memiliki potensi teh yang menjajikan ,akan tetapi perlu penanganan yang lebih agar dari segi kuatintas banyak dengan harga pasar yang menjanjikan dengan kulitas yang ungul.
4. permasalahan dalam teh sangatlah kompleks yaitu tidak hanya berkutat pada masalah klasik system produksi dan pemasaran ,akan tetapi pemanfaatan aktif lahan dalam sistemnya pun juga kurang mendapat perhatian.
5. Penanganan yang serius tampaknya memang dibutuhkan segera. Karena bagaimanapun, peluang teh Indonesia masih terbuka lebar, khususnya di Eropa Barat seperti Inggris dan Jerman sebagai pembeli teh terbesar, lalu Belanda, Belgia, dan Perancis. Apalagi, Indonesia sudah mampu membuat teh putih yang peluang pasarnya dipastikan terbuka lebar.
DAFTAR PUSTAKA
--Teh Budidaya & Pengolahan Pascapanen Oleh Djoehana Setyamidjaja, M.Ed.
-http://finance.detik.com/read/2008/07/22/143102/975876/4/industri-teh-ri-terkendala-masalah-klasik(diakases tgl 28-6-2011)
-http://bataviase.co.id/node/300998(dikases pada 28-6 -2011)
- http://artikelterbaru.com/pertanian/perkembangan-kebun-teh-di-indonesia-2011580.html
No Response to "KRITISI TEH KITA"
Post a Comment