KULTUR
JARINGAN
Kultur Jaringan adalah teknik memperbanyak tanaman
dengan memperbanyak jaringan mikro tanaman yang ditumbuhkan secara invitro
menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah yang tidak terbatas. Yang menjadi
dasar kultur jaringan ini adalah teori totipotensi sel yang berbunyi “setiap
sel organ tanaman akan mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika
ditempatkan di lingkungan yang sesuai. Tujuan dari teknik ini adalah untuk
memperbanyak tanaman dengan waktu yang lebih singkat.
Begitu banyak tanaman yang dapat dibudidayakan dengan
kultur jaringan ini seperti Acasia sp, Eucalyptus sp, jati,
jelutung, gaharu, sengon, sonokeling, berbagai jenis pisang, berbagai jenis
anggrek, dsb.
Proses pembuatan media kultur itu sendiri adalah
sebagai berikut:
Bahan kimia
ditimbang, dilarutkan dalam air destilasi (air bebas mineral), lalu PH larutan
diukur, campurkan agar kemudian dimasaka hingga mendididh, lalu tuangkan media
kedalam botol ukur, setelah itu berikan label media dan disterilkan dengan
autoclare.
Proses selanjutnya adalah sterilisasi eksplan jati,
yang caranya adalah sebagai berikut:
- Siapkan pucuk tunas muda jati.
- Lalu rendam didalam larutan
fungisida dan bakterisida.
- Lalu rendam dalam larutan
disinfektan (Clorox/baydin)
- Dicuci dengan air steril hingga
bersih dari desifektan.
- Lalu tanam didalam media
inisiasi tunas invitro.
Tunas-tunas yang ditanam dalam media invitro, disimpan
di ruang steril. Botol steril disimpan pada rak kultur yang diberi cahaya lampu
TL dengan intensitas cahaya 1000-4000 lux. Lampu TL diatur 16 jam menyala dan 8
jam padam agar sesuai seperti keadaan siang dan malam di bumi. Ruangan tempat
penyimpanan dijaga suhunya di temperatur 250-280 C dengan
menggunakan AC. Dan secara berkala ruang kultur disteril dengan menggunakan
formalin. Inisiasi In vitro pertama adalah saat tunas berusia 3 minggu dan
pemanjangan tunas 3-4 minggu.
Setelah itu akan ada proses aklimatisasi yaitu
pembiasaan tanaman eksplan dari media botol ke media tanah. Proses aklimatisasi
dilanjutkan dengan pembesaran bibit di polybag.
Kelebihan bibit hasil kutur jaringan antara lain :
- Kontinuitas ketersediaan bibit
dalam jumlah besar akan terjaga sepanjang waktu.
- Bibit yang sama memiliki sifat
yang sama dengan induknya.
- Bibit yang dihasilkan bebas
dari penyakit dan virus.
- Lebih cepat tumbuh.
Cara Melakukan
Pemindahan Tanaman Eksplan, Mempersihkan Kalusnya, dan Proses Aklimitasi
1.
memindahkan tanaman eksplan & membersihkan kalusnya.
Alat dan bahan:
o Pinset steril.
o Pisau khusus steril.
o Kapas steril.
o Alat laminar.
o Tanaman eksplan.
o Dua buah botol dengan media agar didalamnya.
o Spiritus
o Korek api.
o Wadah pinset dan pisau.
o Alkohol.
Cara kerja:
o Sterilkan tangan dengan menyemprotkan alkohol ke
tangan.
o Keluarkan tanaman eksplan yang akan dibersihkan
kalusnya dengan menggunakan pinset.
o Letakkan di sebuah wadah dengan kapas diatasnya.
o Jepit bagian batang eksplan dengan pinset kemudian
potong bagian kalusnya menggunkan pinset denganhati-hati. Potong kalus dari
keempat sisinya. Jangan sampai kalus tersebut terpotong semua.
o Setelah selesai proses pemotongannya, bersihkan
kalus tersebut dari media dengan menggunkan kapas steril.
o Pindahkan tanaman eksplan yang telah bersih dengan
menggunakan pinset ke dalam media agar pada botol yang baru.
o Tutup botol tersebut, jaga agar tetap steril.
o Setelah selesai, celupkan pisau dan pinset kedalam
alcohol kemudian bakar dengan api dan lekas letakkan kembali pada wadahnya.
Proses pensterilan selalu dilakukan secara rutin tiap
sebulan sekali selama 24 jam. Botol-botl berisi tanaman eksplan disimpan di
rak-rak dengan suhu 240-260 C selama 24 jam (setiap botol
harus diberi label). Vitamin yang diberikan untuk eksplan yaitu C, B2, & B3
kemudian diaduk dengan gula dan agar-agar. Waktu tumbuh tanaman eksplan yaitu:
induksi (3 minggu), multipikasi (3 minggu), aklimitasi (3 minggu). Biasanya
tanaman diberi “bapitrof” (obat yang diberikan setelah proses aklimitasi yang
berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar).
2. Proses
Aklimitasi.
Proses aklimitasi mmerlukan kadar kelembaban 80%. Di
perkebunan & Greenhouse biasanya digunakan suatu alat yang disebut sonic
level fungsinya antara lain:
- mengusir
serangga dengan getarannya.
- merangsang
pertumbuhan tanaman.
Untuk mengukur PH tanaman menggunakan PH meter, ukuran
PH tanaman biasanya ± 5,7-5,8 PH. Apabila PH tinggi diberi KOH, NaOh, apabila
PH rendah diberi HCL.
Tanaman-tanaman
yang terdapat di Greeen House di antaranya:
- Pohon kelengkeng.
- Zodia.
- Pohon meranti.
- Pohon jelutung.
- Pohon jati.
- Pohon buah merah.
- Pohon mahoni.
- Pohon gaharu.
- Lalu pisang ABACA (Musa textilis
Nec) yang seratnya diambil untuk:
o Tissue
o Kertas uang.
o Dokumen.
o Cheque
o Plester.
o Kertas mimeograph.
o Kantung teh.
A. Pengertian
Kultur Jaringan (Kultur In Vitro)
Kultur jaringan (Tissue Culture) merupakan suatu cara memperbanyak tanaman dengan teknik mengisolasi bagian tertentu dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya pada media nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman di dalam kondisi yang steril, sehingga bagian - bagian tersebut bisa memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap/sempurna. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Kultur jaringan atau biakan jaringan sering disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa Latin yang artinya "di dalam kaca". Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut, setiap sel berasal dari satu sel.
Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
B. Tahap-Tahap Dalam Perbanyakan Tanaman
`Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1. Pembuatan media
2. Inisiasi
3. Sterilisasi
4. Multiplikasi
5. Pengakaran
6. Aklimatisasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll. Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat.
C. Teori Dasar Kultur Jaringan
Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
Teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap.
D. Aplikasi Teknik Kultur Jaringan dalam Bidang Agronomi
Perbanyakan vegetatif secara cepat (Micropropagation).
Membersihkan bahan tanaman/bibit dari virus
Membantu program pemuliaan tanaman (Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro, Variasi Somaklonal, Fusiprotoplas, Transformasi Gen /Rekayasa Genetika Tanaman dll).
Produksi metabolit sekunder.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regenerasi
Bentuk Regenerasi dalam Kultur In Vitro : pucuk aksilar, pucuk adventif, embrio somatik, pembentukan protocorm like bodies, dll
Eksplan ,adalah bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman. Faktor eksplan yang penting adalah genotipe/varietas, umur eksplan, letak pada cabang, dan seks (jantan/betina). Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagi eksplan adalah pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll.
Media Tumbuh, Di dalam media tumbuh mengandung komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan, antara lain: Murashige dan Skoog (MS), Woody Plant Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dll. Media yang sering digunakan secara luas adalah MS.
Media Tumbuh
Media tumbuh untuk perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan mengandung komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Media tersebut berfungsi untuk penyediaan air, hara mineral, vitamin, zat pengatur tumbuh, akses ke atmosfer untuk pertukaran gas, dan pembuangan sisa metabolisme tanaman pada proses regenerasi kultur jaringan (Kultur in vitro).
Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat seperti gel dengan menggunakan agar (dari rumput laut) atau pengganti agar seperti Gelrite atau Phytagel (bersumber dari bakteri). Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara 0.7-1.0%. Pada konsentrasi tinggi agar menjadi sangat keras, sedikit sekali air yang tersedia, sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk. Agar dengan kualitas tinggi seperti Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak mengandung bahan lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan. Pengganti lain seperti gelatin kadang-kadang digunakan pada lab komersial. Gel sintetis diketahui dapat menyebabkan hyperhidration (vitrifikasi) yang merupakan problem fisiologis yang terjadi pada kultur. Untuk mengatasi masalah ini, produk baru bernaman Agargel telah diproduksi ole Sigma. Produk ini merupakan campuran agar dan gel sintetis dan menawarkan kelebihan kedua produk sekaligus mengurangi problem vitrifikasi. Produk ini dapat dibuat di lab dengan mencampurkan 1 g Gelrite (Phytagel) dengan 4 g agar sebagai agen pengental untuk 1 L media.
Di dalam media terkandung : 1> unsur-unsur mineral makro (Nitrogen (N) 25-60 mM, Kalium, Fosfor (P) 1-3 mM, Kalsium (Ca) 1-3 mM, Magnesium (Mg) 1-3 mM, Sulfur (S) 1-3 mM)); 2> unsur-unsur mikro (Besi (Fe) 1 m M, Mangan (Mn) 5-30 m M, Seng (Zn), Boron (B), Tembaga (Cu) 0.1 m M, Molybdenum (Mo) 1 m M, Cobalt (Co) 0.1 m M, Iodine (I) Nickel (Ni), aluminum (Al), and silicon (Si)); 3> senyawa organik (gula, sukrosa, dan lainnya) 20 to 40 g/l; 4> vitamin (thiamin (vitamin B1), nicotinic acid (niacin), pyridoxine (B6), dan myo-inositol); 4> arang aktif; dan 5> Zat pengatur tumbuh, yang bisa digunakan, yakni: dari golongan auksin seperti Indole Aceti Acid(IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), 2,4-D, CPA dan Indole Acetic Acid (IBA), golongan Sitokinin seperti Kinetin, Benziladenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA, dan golongan Gibberelin seperti GA3.
Zat Pengatur Tumbuh Tanaman
Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ZPT adalah konsentrasi, urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu. Jenis yang sering digunakan adalah golongan Auksin seperti Indole Aceti Acid(IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), 2,4-D, CPA dan Indole Acetic Acid (IBA). Golongan Sitokinin seperti Kinetin, Benziladenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA. Golongan Gibberelin seperti GA3. Golongan zat penghambat tumbuh seperti Ancymidol, Paclobutrazol, TIBA, dan CCC.
Bahan Bagian Tanaman (Eksplan)
Eksplan adalah bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman. Faktor eksplan yang penting adalah genotipe/varietas, umur eksplan, letak pada cabang, dan seks (jantan/betina). Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagi eksplan untuk perbanyakan tanaman dengan metoda kultur jaringan (kultur in vitro) adalah pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll.
Lingkungan Tumbuh
Lingkungan tumbuh yang dapat mempengruhi regenerasi tanaman meliputi pH, temperatur, panjang penyinaran, intensitas penyinaran, kualitas sinar, dan ukuran wadah kultur.
Proses Perbanyakan Tanaman dengan Teknik Kultur Jaringan
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
Pembuatan media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Untuk pengambilan eksplan, bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Lakukan sterilisasi yaitu segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Peralatan juga harus disterilkan dengan menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatann.
Perbanyakan calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengamatan pada fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Pemindahan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan menggunakan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sungkup dilepaskan secara bertahap, selanjutnya pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan pada bibit generatif.
F. Manfaat Kultur Jaringan
Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap berbagai ilmu pengetahuan.
Perbanyakan tanaman secara besar-besaran telah dibuktikan keberhasilannya pada perkebunan kelapa sawit dan tebu. Dengan car kultur jaringan dapat klon suatu komoditas tanaman dalam relatif cepat. Manfaat yang dapat diperoleh dari kloning ini cukup banyak, misalnya: di luar pulau Jawa akan didirikan suatu perkebunan yang membutuhkan bibit tanaman dalam jumlah ribuan, maka sudah dapat dibayangkan betapa mahalnya biayanya hanya untuk trasnportasi saja. Hala ini dapat diatasi denga usaha kloning melalui budaya jaringan, karena hanya perlu membawa beberapa puluh botol planlet yang berisi ribuan bibit. Dengan cara ini dapat menghemat waktu dan biaya yang cukup banyak dalam persiapan pemberangkatan ataupun transportasinya. Pada ekspor anggrek, misalnya, orang luar negeri menghendaki bunga anggrek yang seragam baik bentuk maupun warnanya. Dalam hal ini dapat dipenuhi juga dengan usaha kloning. Bibit-bibit tanaman dari usaha mericlono (tanaman hasil budidaya meristem) akan berharga lebih mahal, karena induknya dipilih dari tanaman yang mempunyai sifat paling bagus (unggul).
Kultur jaringan tanaman telah dikenal banyak orang sebagai usaha mendapatkan varietas baru (unggul) dari suatu jenis tanaman dalam waktu yang relatif lebih singkat dari pada dengan cara pemuliaan tanaman yang harus dilakukan penanaman secara berulang-ulang sampai beberapa generasi. Untuk mendapatkan varietas baru melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara isolasi protoplas dari 2 macam varietas yang difusikan. Atau dengan cara isolasi khloroplas suatu jenis tanaman yang dimasukkan kedalam protoplas jenis tanaman yang lain, sehingga terjadi penggabungan sifat-sifat yang baik dari kedua jenis tanaman tersebut hingga terjadi hibrid somatik. Cara yang lain adalah dengan menyuntikkan protoplas dari suatu tanaman ketanaman lain. Contohnya transfer khloroplas dari tanaman tembakau berwarna hijau ke dalam protoplas tanaman tembakau yang albino, hasilnya sangat memuaskan karena tanaman tembakau menjadi hijau pula. Contoh lain adalah keberhasilan mentrasnfer khloroplas dari tanaman jagung ke dalam protoplas tanaman tebu hasilnya memuaskan (Anik Herawati, 1991).
v Khloroplas yang ditransfer harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Sewaktu dilakukan isolasi, khloroplas harus sempurna. Setelah diisolasi harus mempuyai sifat yang sama dengan khloroplas yang tumbuh secara in vivo (budidaya biasa). Setelah diisolasi masih mempunyai sifat atau aktivitas fotosintesa yang cukup tinggi. Contoh isolasi protoplas dalam budidaya jaringan yang sangat berguna adalah ditemukannya sun-chlorella (jenis ganggang). Ganggang ini secara enzimatis dijadikan protoplas (sel-selnya ditelanjangi dengan cara diinkubasikan dalam enzim medium sehingga dinding selnya larut), kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Protoplas tersebut selanjutnya dipecah hingga didapatkan khloroplas dan akhirnya dibuat pil-pil untuk pengobatan.
Menciptakan varietas baru dapat pula dilakukan dengan menggunakan bantuan jenis bakteri seperti bakteri penyebab tumor yang disebut Agrobacterium tumifaciens. Bakteri ini disuntikkan pada tanaman sehat mempunyai buah ukuran besar, agar tanaman sehat tersebut menjadi sakit tumor. Bakteri yang berada dalam jaringan yang menonjol karena terkena tumor tersebut kemudian diambil dan disuntikkan kedalam tanaman lain yang ukuran buahnya kecil-kecil. Dengan cara ini terbukti bahwa tidak lam kemudian tanaman tersebut menghasilkan buah yang ukurannya besar. Hal ini membuktikan bahwa bakteri yang dipindahkan tersebut membawa sifat keturunan yang ada pada tanaman semula. Sedangkan untuk mendapatkan yang baru yang tahan terhadap stress garam, pestisida tertentu, logam berat, suhu rendah atau tinggi dan sebagainya dapat dilakukan dengan cara-cara khusus.
Menciptakan tanaman baru yang toleran terhadap stress garam pernah dilakukan oleh Handa dkk. (Suryowinoto, 1985) yaitu terhadap tanaman tomat dan tembakau. Pada penelitian ini menggunakan penambahan PEG (Poly Ethilen- Glycol) atau NaCL, yang biasa dipergunakan untuk mendapatkan kultivar yang toleransi terhadap garam.
Beberapa jenis tanaman ada yang teramcam punah (endangered species), misalnya berbagai jenis tanaman pisang, tanaman melati, kenanga, kayu jati, dan kayu putih. Usaha yang paling tepat untuk melestarikan tanaman yang terancam punah adalah dengan jalan kloning. Dengan usaha kloning ini, populasi dari tanaman tersebut akan terselamatkan, bahkan dapat bertambah, sekaligus sifat-sifat yang dimiliki oleh tanaman tersebut tetap terjamin.
Kultur jaringan juga mempunyai manfaat yang besar dibidang farmasi, karena dari usaha ini dapat dihasilkan metabolit skunder upaya untuk pembuatan obat-obatan, yaitu dengan memisahkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalus ataupun protokormus, misalnya alkoloid, steroid, dan terponoid. Dengan ditemukannya cara mendapatkan metabolit skunderdari kalus suatu eksplan yang di tumbuhkan dalam medium kultur jaringan, mak berarti dapat menghemat waktu dan tenaga. Dengan cara biasa, untuk mendapatkannya harus menunggu lama samapai tanaman cukup umur bahkan sampai berproduksi hingga bertahun-tahun. Sedangkan dengan teknik kultur jaringan hanya membuthkan waktu antara tiga minggu sampai satu bulan saja. Metabolit yang dihasilkan dari kalus ternyata juga memiliki kadar yang lebih tinggi daripada dengan cara biasa (langsung dari tanaman). Dengan cara pengambilan metabolit skunder dari kalus, biasanya selalu diperoleh kandungan lain yang lebih banyak jenisnya, karena seringkali timbul zat-zat alkaloid atau persenyawaan-persenyawaan lainnya yang sangat berguna untuk pengobatan.
v Persenyawaan yang bermanfaat yang diambil dari kalus dapat ditingkatkan kadarnya dengan cara memanipulasinya, antara lain:
Memakai medium lain yang sesuai. Mengubah salah satu kadar komponen dalam medium. Memberi zat tambahan tertentu ke dalam medium, misalnya penambahan zat pengatur tumbuh auksin ataupun sitokinin.
Kultur jaringan juga memberikan masukkan atau informasi pengetahuan yang sangat bermanfaat dibidang fisiologi tanaman. Pada tanaman anggrek misalnya, telah berhasil diketahui bahwa jika ujung akarnya diiris melintang akan memperlihatkan warna tertentu. Warna tersebut nantinya akan sama dengan warna bunganya. Hal ini sangat berguna dalam bidang perdangan bunga hias, sebab walaupun tanamannya belum berbunga orang sudah dapat mengetahui warna bunga yang akan muncul.
Melalui perbanyakan vegetatif dengan kultur jaringan ternyata juga berpengaruh terhadap devisa negara. Misalnya, denagn terlaksananya ekspor tanaman anggrek ke negara lain, maka akan menaikkan devisan negara dibidang pertanian.
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman memerlukan keterampilan khusus dan harus diltar belakangi dengan ilmu pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana (dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai. Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hatri-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman cecara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kia terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri sepertti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk pengembangan bioteknologi.
Kultur jaringan (Tissue Culture) merupakan suatu cara memperbanyak tanaman dengan teknik mengisolasi bagian tertentu dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya pada media nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman di dalam kondisi yang steril, sehingga bagian - bagian tersebut bisa memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap/sempurna. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Kultur jaringan atau biakan jaringan sering disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa Latin yang artinya "di dalam kaca". Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut, setiap sel berasal dari satu sel.
Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
B. Tahap-Tahap Dalam Perbanyakan Tanaman
`Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1. Pembuatan media
2. Inisiasi
3. Sterilisasi
4. Multiplikasi
5. Pengakaran
6. Aklimatisasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll. Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat.
C. Teori Dasar Kultur Jaringan
Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
Teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap.
D. Aplikasi Teknik Kultur Jaringan dalam Bidang Agronomi
Perbanyakan vegetatif secara cepat (Micropropagation).
Membersihkan bahan tanaman/bibit dari virus
Membantu program pemuliaan tanaman (Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro, Variasi Somaklonal, Fusiprotoplas, Transformasi Gen /Rekayasa Genetika Tanaman dll).
Produksi metabolit sekunder.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regenerasi
Bentuk Regenerasi dalam Kultur In Vitro : pucuk aksilar, pucuk adventif, embrio somatik, pembentukan protocorm like bodies, dll
Eksplan ,adalah bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman. Faktor eksplan yang penting adalah genotipe/varietas, umur eksplan, letak pada cabang, dan seks (jantan/betina). Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagi eksplan adalah pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll.
Media Tumbuh, Di dalam media tumbuh mengandung komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan, antara lain: Murashige dan Skoog (MS), Woody Plant Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dll. Media yang sering digunakan secara luas adalah MS.
Media Tumbuh
Media tumbuh untuk perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan mengandung komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Media tersebut berfungsi untuk penyediaan air, hara mineral, vitamin, zat pengatur tumbuh, akses ke atmosfer untuk pertukaran gas, dan pembuangan sisa metabolisme tanaman pada proses regenerasi kultur jaringan (Kultur in vitro).
Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat seperti gel dengan menggunakan agar (dari rumput laut) atau pengganti agar seperti Gelrite atau Phytagel (bersumber dari bakteri). Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara 0.7-1.0%. Pada konsentrasi tinggi agar menjadi sangat keras, sedikit sekali air yang tersedia, sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk. Agar dengan kualitas tinggi seperti Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak mengandung bahan lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan. Pengganti lain seperti gelatin kadang-kadang digunakan pada lab komersial. Gel sintetis diketahui dapat menyebabkan hyperhidration (vitrifikasi) yang merupakan problem fisiologis yang terjadi pada kultur. Untuk mengatasi masalah ini, produk baru bernaman Agargel telah diproduksi ole Sigma. Produk ini merupakan campuran agar dan gel sintetis dan menawarkan kelebihan kedua produk sekaligus mengurangi problem vitrifikasi. Produk ini dapat dibuat di lab dengan mencampurkan 1 g Gelrite (Phytagel) dengan 4 g agar sebagai agen pengental untuk 1 L media.
Di dalam media terkandung : 1> unsur-unsur mineral makro (Nitrogen (N) 25-60 mM, Kalium, Fosfor (P) 1-3 mM, Kalsium (Ca) 1-3 mM, Magnesium (Mg) 1-3 mM, Sulfur (S) 1-3 mM)); 2> unsur-unsur mikro (Besi (Fe) 1 m M, Mangan (Mn) 5-30 m M, Seng (Zn), Boron (B), Tembaga (Cu) 0.1 m M, Molybdenum (Mo) 1 m M, Cobalt (Co) 0.1 m M, Iodine (I) Nickel (Ni), aluminum (Al), and silicon (Si)); 3> senyawa organik (gula, sukrosa, dan lainnya) 20 to 40 g/l; 4> vitamin (thiamin (vitamin B1), nicotinic acid (niacin), pyridoxine (B6), dan myo-inositol); 4> arang aktif; dan 5> Zat pengatur tumbuh, yang bisa digunakan, yakni: dari golongan auksin seperti Indole Aceti Acid(IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), 2,4-D, CPA dan Indole Acetic Acid (IBA), golongan Sitokinin seperti Kinetin, Benziladenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA, dan golongan Gibberelin seperti GA3.
Zat Pengatur Tumbuh Tanaman
Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ZPT adalah konsentrasi, urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu. Jenis yang sering digunakan adalah golongan Auksin seperti Indole Aceti Acid(IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), 2,4-D, CPA dan Indole Acetic Acid (IBA). Golongan Sitokinin seperti Kinetin, Benziladenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA. Golongan Gibberelin seperti GA3. Golongan zat penghambat tumbuh seperti Ancymidol, Paclobutrazol, TIBA, dan CCC.
Bahan Bagian Tanaman (Eksplan)
Eksplan adalah bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman. Faktor eksplan yang penting adalah genotipe/varietas, umur eksplan, letak pada cabang, dan seks (jantan/betina). Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagi eksplan untuk perbanyakan tanaman dengan metoda kultur jaringan (kultur in vitro) adalah pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll.
Lingkungan Tumbuh
Lingkungan tumbuh yang dapat mempengruhi regenerasi tanaman meliputi pH, temperatur, panjang penyinaran, intensitas penyinaran, kualitas sinar, dan ukuran wadah kultur.
Proses Perbanyakan Tanaman dengan Teknik Kultur Jaringan
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
Pembuatan media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Untuk pengambilan eksplan, bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Lakukan sterilisasi yaitu segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Peralatan juga harus disterilkan dengan menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatann.
Perbanyakan calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengamatan pada fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Pemindahan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan menggunakan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sungkup dilepaskan secara bertahap, selanjutnya pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan pada bibit generatif.
F. Manfaat Kultur Jaringan
Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap berbagai ilmu pengetahuan.
Perbanyakan tanaman secara besar-besaran telah dibuktikan keberhasilannya pada perkebunan kelapa sawit dan tebu. Dengan car kultur jaringan dapat klon suatu komoditas tanaman dalam relatif cepat. Manfaat yang dapat diperoleh dari kloning ini cukup banyak, misalnya: di luar pulau Jawa akan didirikan suatu perkebunan yang membutuhkan bibit tanaman dalam jumlah ribuan, maka sudah dapat dibayangkan betapa mahalnya biayanya hanya untuk trasnportasi saja. Hala ini dapat diatasi denga usaha kloning melalui budaya jaringan, karena hanya perlu membawa beberapa puluh botol planlet yang berisi ribuan bibit. Dengan cara ini dapat menghemat waktu dan biaya yang cukup banyak dalam persiapan pemberangkatan ataupun transportasinya. Pada ekspor anggrek, misalnya, orang luar negeri menghendaki bunga anggrek yang seragam baik bentuk maupun warnanya. Dalam hal ini dapat dipenuhi juga dengan usaha kloning. Bibit-bibit tanaman dari usaha mericlono (tanaman hasil budidaya meristem) akan berharga lebih mahal, karena induknya dipilih dari tanaman yang mempunyai sifat paling bagus (unggul).
Kultur jaringan tanaman telah dikenal banyak orang sebagai usaha mendapatkan varietas baru (unggul) dari suatu jenis tanaman dalam waktu yang relatif lebih singkat dari pada dengan cara pemuliaan tanaman yang harus dilakukan penanaman secara berulang-ulang sampai beberapa generasi. Untuk mendapatkan varietas baru melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara isolasi protoplas dari 2 macam varietas yang difusikan. Atau dengan cara isolasi khloroplas suatu jenis tanaman yang dimasukkan kedalam protoplas jenis tanaman yang lain, sehingga terjadi penggabungan sifat-sifat yang baik dari kedua jenis tanaman tersebut hingga terjadi hibrid somatik. Cara yang lain adalah dengan menyuntikkan protoplas dari suatu tanaman ketanaman lain. Contohnya transfer khloroplas dari tanaman tembakau berwarna hijau ke dalam protoplas tanaman tembakau yang albino, hasilnya sangat memuaskan karena tanaman tembakau menjadi hijau pula. Contoh lain adalah keberhasilan mentrasnfer khloroplas dari tanaman jagung ke dalam protoplas tanaman tebu hasilnya memuaskan (Anik Herawati, 1991).
v Khloroplas yang ditransfer harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Sewaktu dilakukan isolasi, khloroplas harus sempurna. Setelah diisolasi harus mempuyai sifat yang sama dengan khloroplas yang tumbuh secara in vivo (budidaya biasa). Setelah diisolasi masih mempunyai sifat atau aktivitas fotosintesa yang cukup tinggi. Contoh isolasi protoplas dalam budidaya jaringan yang sangat berguna adalah ditemukannya sun-chlorella (jenis ganggang). Ganggang ini secara enzimatis dijadikan protoplas (sel-selnya ditelanjangi dengan cara diinkubasikan dalam enzim medium sehingga dinding selnya larut), kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Protoplas tersebut selanjutnya dipecah hingga didapatkan khloroplas dan akhirnya dibuat pil-pil untuk pengobatan.
Menciptakan varietas baru dapat pula dilakukan dengan menggunakan bantuan jenis bakteri seperti bakteri penyebab tumor yang disebut Agrobacterium tumifaciens. Bakteri ini disuntikkan pada tanaman sehat mempunyai buah ukuran besar, agar tanaman sehat tersebut menjadi sakit tumor. Bakteri yang berada dalam jaringan yang menonjol karena terkena tumor tersebut kemudian diambil dan disuntikkan kedalam tanaman lain yang ukuran buahnya kecil-kecil. Dengan cara ini terbukti bahwa tidak lam kemudian tanaman tersebut menghasilkan buah yang ukurannya besar. Hal ini membuktikan bahwa bakteri yang dipindahkan tersebut membawa sifat keturunan yang ada pada tanaman semula. Sedangkan untuk mendapatkan yang baru yang tahan terhadap stress garam, pestisida tertentu, logam berat, suhu rendah atau tinggi dan sebagainya dapat dilakukan dengan cara-cara khusus.
Menciptakan tanaman baru yang toleran terhadap stress garam pernah dilakukan oleh Handa dkk. (Suryowinoto, 1985) yaitu terhadap tanaman tomat dan tembakau. Pada penelitian ini menggunakan penambahan PEG (Poly Ethilen- Glycol) atau NaCL, yang biasa dipergunakan untuk mendapatkan kultivar yang toleransi terhadap garam.
Beberapa jenis tanaman ada yang teramcam punah (endangered species), misalnya berbagai jenis tanaman pisang, tanaman melati, kenanga, kayu jati, dan kayu putih. Usaha yang paling tepat untuk melestarikan tanaman yang terancam punah adalah dengan jalan kloning. Dengan usaha kloning ini, populasi dari tanaman tersebut akan terselamatkan, bahkan dapat bertambah, sekaligus sifat-sifat yang dimiliki oleh tanaman tersebut tetap terjamin.
Kultur jaringan juga mempunyai manfaat yang besar dibidang farmasi, karena dari usaha ini dapat dihasilkan metabolit skunder upaya untuk pembuatan obat-obatan, yaitu dengan memisahkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalus ataupun protokormus, misalnya alkoloid, steroid, dan terponoid. Dengan ditemukannya cara mendapatkan metabolit skunderdari kalus suatu eksplan yang di tumbuhkan dalam medium kultur jaringan, mak berarti dapat menghemat waktu dan tenaga. Dengan cara biasa, untuk mendapatkannya harus menunggu lama samapai tanaman cukup umur bahkan sampai berproduksi hingga bertahun-tahun. Sedangkan dengan teknik kultur jaringan hanya membuthkan waktu antara tiga minggu sampai satu bulan saja. Metabolit yang dihasilkan dari kalus ternyata juga memiliki kadar yang lebih tinggi daripada dengan cara biasa (langsung dari tanaman). Dengan cara pengambilan metabolit skunder dari kalus, biasanya selalu diperoleh kandungan lain yang lebih banyak jenisnya, karena seringkali timbul zat-zat alkaloid atau persenyawaan-persenyawaan lainnya yang sangat berguna untuk pengobatan.
v Persenyawaan yang bermanfaat yang diambil dari kalus dapat ditingkatkan kadarnya dengan cara memanipulasinya, antara lain:
Memakai medium lain yang sesuai. Mengubah salah satu kadar komponen dalam medium. Memberi zat tambahan tertentu ke dalam medium, misalnya penambahan zat pengatur tumbuh auksin ataupun sitokinin.
Kultur jaringan juga memberikan masukkan atau informasi pengetahuan yang sangat bermanfaat dibidang fisiologi tanaman. Pada tanaman anggrek misalnya, telah berhasil diketahui bahwa jika ujung akarnya diiris melintang akan memperlihatkan warna tertentu. Warna tersebut nantinya akan sama dengan warna bunganya. Hal ini sangat berguna dalam bidang perdangan bunga hias, sebab walaupun tanamannya belum berbunga orang sudah dapat mengetahui warna bunga yang akan muncul.
Melalui perbanyakan vegetatif dengan kultur jaringan ternyata juga berpengaruh terhadap devisa negara. Misalnya, denagn terlaksananya ekspor tanaman anggrek ke negara lain, maka akan menaikkan devisan negara dibidang pertanian.
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman memerlukan keterampilan khusus dan harus diltar belakangi dengan ilmu pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana (dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai. Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik. Karena semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hatri-hati dan cermat serta memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman cecara in vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kia terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri sepertti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk pengembangan bioteknologi.
Dalam program pemuliaan suatu tanaman umumnya memerlukan
beberapa tahun untuk merakit suatu varietas baru. Prosesnya dimulai dengan
penyerbukan silang untuk mengkombinasikan sifat-sifat tetua yang diinginkan.
Keturunan dari generasi pertama (F1) bersifat heterozigot tetapi secara genetis
seragam. Segregasi akan terjadi setelah reproduksi F1. Segregasi adalah
pemisahan kromosom dan gen-gen yang homolog dari tetua yang berbeda pada saat
proses meiosis, dan menghasilkan populasi F2 yang secara genetis bervariasi.
Pada tanaman yang menyerbuk sendiri (self-pollinating), seperti tanaman padi, keturunan selanjutnya akan lebih bersifat
homozigot karena heterozigositasnya akan menurun separuh pada tiap generasi.
Pada generasi ke-5, tanaman mendekati 97% homozigot.
Kultur antera adalah kultur aseptik antera untuk memproduksi kalus atau tanaman haploid dari mikrospora. Kultur antera merupakan suatu metoda untuk memproduksi galur-galur yang homozigot dengan waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan metoda konvensional yang memerlukan beberapa generasi. Tanaman haploid ganda (double haploid atau dihaploid) yang dihasilkan melalui kultur antera bersifat homozigot dan murni. Penggunaan tanaman haploid ganda dalam pemuliaan akan lebih efisien dalam mengidentifikasi genotipa-genotipa superior karena tanaman tersebut akan mengekspresikan semua sifat –sifatnya. Kultur antera mula-mula dikenalkan oleh Guha dan Maheshwari pada tahun 1964. Metoda kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid telah digunakan pada lebih dari 200 spesies tanaman termasuk tomat, padi, tembakau, geranium, asparagus, dan lain-lain.
Antera mengandung serbuk sari (polen), sehingga kultur antera berarti mengikutsertakan polen didalamnya. Polen yang masih muda (immature) atau mikrospora yang terkandung dalam antera dapat secara langsung beregenerasi membentuk embrio, disebut androgenesis, atau membentuk jaringan kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman dibawah pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media tanam. Polen bersifat haploid, dan tentunya sel-sel yang diproduksi oleh polen selama dikultur adalah haploid pula. Metoda lain untuk memproduksi tanaman haploid adalah dengan kultur ovul atau ovari (prosesnya disebut gynogenesis) atau melalui metoda eliminasi kromosom yang disebut metoda Hordeum bulbosum (Bajaj, 1983).
Tanaman haploid bersifat steril artinya tidak menghasilkan biji. Akan tetapi kromosomnya sering terjadi mengalami duplikasi secara spontan pada kultur antera yang melalui tahap kalus sehingga menghasilkan tanaman haploid ganda yang bersifat fertil. Dari pengalaman, tanaman haploid dapat dikenali perbedaannya dari tanaman diploid terutama pada saat tanaman tersebut sudah dipelihara dalam rumah kaca. Perbedaannya antara lain pada tinggi tanaman, warna, ukuran daun dan perkembangan akar.
Untuk meningkatkan peluang mendapatkan tanaman dihaploid sering digunakan senyawa kimia colchicine yang sifatnya dapat menginduksi poliploidi terutama apabila proses androgenesisnya terjadi secara langsung. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah: (i) genotipa tanaman dimana antera berasal; (ii) komposisi media kultur; (iii) kondisi tanaman donor; (iv) tahap perkembangan dari polen; (v) pra perlakuan suhu (shock thermal) dari antera.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera:
• Genotipa
Pemilihan bahan awal atau sumber eksplan untuk kultur antera merupakan bagian yang sangat penting. Genotipa dari sumber bahan antera memegang peranan penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kultur antera. Tidak terlalu banyak jenis tanaman yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi tanaman haploid melalui kultur antera, bahkan didalam spesies yang samapun kemampuannya dapat berbeda. Sebagai contoh, beberapa kultivar tanaman jagung (Zea mays L.) sama sekali tidak responsif dalam kultur antera, sementara pada beberapa kultivar lain dapat dihasilkan (Wan dan Wildholm, 1993). Bahkan untuk spesies tanaman yang model, seperti tembakau, beberapa genotipa menghasilkan tanaman haploid dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan genotipa yang lain. Karena pengaruh genotipa tersebut maka penting untuk diperhatikan diversitas genetik tanaman apabila mengembangkan protokol untuk memproduksi tanaman haploid melalui kultur antera.
• Komposisi media kultur
Androgenesis dapat diinduksi pada media sederhana seperti yang dikembangkan oleh Nitsch dan Nitsch (1969) untuk polen tanaman tembakau dan beberpa spesies lainnya. Akan tetapi untuk sebagian besar spesies, media yang umum digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan N6 (Chu, 1978) atau variasi kedua media tersebut. Dalam beberapa hal media perlu diperkaya dengan senyawa organik komplek seperti ekstrak kentang, air kelapa dan casein hidrolisat. Pada sebagian besar spesies, sukrosa yang digunakan dalam media antara 2-3% sementara untuk beberapa spesies lain khususnya tanaman serealia responnya lebih baik apabila konsentrasi gulanya lebih tinggi (hingga 15%). Pada beberapa spesies lain, penggunaan sumber karbohidrat seperti ribosa, maltosa dan glukosa mempunyai pengaruh yang lebih baik dibanding dengan sukrosa.
Pada beberapa spesies. seperti tembakau, penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur antera tidak diperlukan. Akan tetapi untuk sebagian besar spesies diperlukan auksin dalam media dengan konsentrasi rendah. Sitokinin yang dikombinasikan dengan auksin kadang-kadang diperlukan terutama untuk spesies yang memerlukan fase kalus sebelum dihasilkan tanaman haploid.
Kultur antera umumnya memerlukan bahan pemadat berupa agar. Akan tetapi karena agar mengandung senyawa yang dapat menghambat proses androgenesis, maka diperlukan bahan pemadat alternatif. Agarose dilaporkan merupakan bahan pemadat yang paling baik untuk kultur antera dari spesies serealia. Alternatif lain adalah dengan menggunakan media cair dengan cara menaruh antera di atas permukaan media yang disebut kultur mengapung atau ”float culture”.
Gambar G-7.1 . Diagram bunga (Sumber: www.teachnet.ie)
Gambar G-7.2. Skema kultur antera, organogenesis terjadi
secara langsung maupun tidak langsung (melalui tahap kalus)
• Kondisi tanaman donor
Umur dan kondisi fisiologis tanaman donor sering mempengaruhi keberhasilan kultur antera. Pada sebagian besar spesies, respon yang paling baik berasal dari bunga (atau kelompok bunga) pertama yang dihasilkan oleh tanaman. Sebagaimana umumnya antera yang dikulturkan harus berasal dari bunga yang masih kuncup.
Berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman donor juga mempengaruhi tanaman haploid yang dihasilkan. Pada beberapa spesies, intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu diketahui mempengaruhi jumlah tanaman haploid yang dihasilkan. Kondisi pertumbuhan optimum yang spesifik berbeda antara tanaman yang satu dengan yang lainnya. Secara umum hasil terbaik akan diperoleh dari tanaman yang pertumbuhannya sehat dan vigor.
• Tahap perkembangan polen
Faktor yang sangat kritis yang mempengaruhi produksi tanaman haploid dari kultur antera adalah tahap perkembangan mikrospora. Pada sebagian besar jenis tanaman, antera hanya responsif selama fase uninukleat dari perkembangan polen. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon optimum ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis pertama dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari mikrospora).
• Pra perlakuan
Pada beberapa spesies tanaman, produktivitas kultur anteranya dipengaruhi oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterilisasi dan isolasi antera. Produktivitas tanaman haploid tembakau yang dihasilkan sering meningkat dengan perlakuan penyimpanan kuncup bungan pada suhu 7-8oC selama 12 hari (Sunderland dan Robert, 1979). Untuk jenis tanaman lain, penyimpanan dapat dilakukan pada suhu antara 4-10oC selama 3 hari sampai dengan 3 minggu. Umumnya penyimpanan pada suhu yang lebih rendah memerlukan waktu yang lebih pendek dan sebaliknya. Perlakuan suhu pra inkubasi pada tanaman tertentu, seperti Brassica campestris L., dengan cara menyimpan biakan pada suhu 35oC selama 1-3 hari sebelum diinkubasi pada suhu 25oC, diketahui dapat meningkatkan keberhasilan kultur antera (Keller dan Amstrong, 1979).
Gambar G-7.3. Diagram dari beberapa tahap dalam kultur antera dan polen.
Keterangan:
Kultur antera: (a) Kuncup bunga yang belum terbuka; (1b) antera; (1c) antera yang dikulturkan secara in vitro; (1d dan 1e) antera yang mengalami proliferasi; (1f) kalus haploid; (1g) kalus yang sedang berdiferensiasi; (2d dan 2e) antera yang mengalami regenerasi langsung tanpa pembentukan kalus atau androgenesis; (h) plantlet haploid.
Kultur polen (mikrospora): (a) Kuncup bunga yang belum terbuka; (3b) polen yang sudah diisolasi dari antera; (3c) kultur polen; (3d) polen multinukleat; (3e dan 3f) embrio polen.
Kultur antera adalah kultur aseptik antera untuk memproduksi kalus atau tanaman haploid dari mikrospora. Kultur antera merupakan suatu metoda untuk memproduksi galur-galur yang homozigot dengan waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan metoda konvensional yang memerlukan beberapa generasi. Tanaman haploid ganda (double haploid atau dihaploid) yang dihasilkan melalui kultur antera bersifat homozigot dan murni. Penggunaan tanaman haploid ganda dalam pemuliaan akan lebih efisien dalam mengidentifikasi genotipa-genotipa superior karena tanaman tersebut akan mengekspresikan semua sifat –sifatnya. Kultur antera mula-mula dikenalkan oleh Guha dan Maheshwari pada tahun 1964. Metoda kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid telah digunakan pada lebih dari 200 spesies tanaman termasuk tomat, padi, tembakau, geranium, asparagus, dan lain-lain.
Antera mengandung serbuk sari (polen), sehingga kultur antera berarti mengikutsertakan polen didalamnya. Polen yang masih muda (immature) atau mikrospora yang terkandung dalam antera dapat secara langsung beregenerasi membentuk embrio, disebut androgenesis, atau membentuk jaringan kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman dibawah pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media tanam. Polen bersifat haploid, dan tentunya sel-sel yang diproduksi oleh polen selama dikultur adalah haploid pula. Metoda lain untuk memproduksi tanaman haploid adalah dengan kultur ovul atau ovari (prosesnya disebut gynogenesis) atau melalui metoda eliminasi kromosom yang disebut metoda Hordeum bulbosum (Bajaj, 1983).
Tanaman haploid bersifat steril artinya tidak menghasilkan biji. Akan tetapi kromosomnya sering terjadi mengalami duplikasi secara spontan pada kultur antera yang melalui tahap kalus sehingga menghasilkan tanaman haploid ganda yang bersifat fertil. Dari pengalaman, tanaman haploid dapat dikenali perbedaannya dari tanaman diploid terutama pada saat tanaman tersebut sudah dipelihara dalam rumah kaca. Perbedaannya antara lain pada tinggi tanaman, warna, ukuran daun dan perkembangan akar.
Untuk meningkatkan peluang mendapatkan tanaman dihaploid sering digunakan senyawa kimia colchicine yang sifatnya dapat menginduksi poliploidi terutama apabila proses androgenesisnya terjadi secara langsung. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah: (i) genotipa tanaman dimana antera berasal; (ii) komposisi media kultur; (iii) kondisi tanaman donor; (iv) tahap perkembangan dari polen; (v) pra perlakuan suhu (shock thermal) dari antera.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera:
• Genotipa
Pemilihan bahan awal atau sumber eksplan untuk kultur antera merupakan bagian yang sangat penting. Genotipa dari sumber bahan antera memegang peranan penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kultur antera. Tidak terlalu banyak jenis tanaman yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi tanaman haploid melalui kultur antera, bahkan didalam spesies yang samapun kemampuannya dapat berbeda. Sebagai contoh, beberapa kultivar tanaman jagung (Zea mays L.) sama sekali tidak responsif dalam kultur antera, sementara pada beberapa kultivar lain dapat dihasilkan (Wan dan Wildholm, 1993). Bahkan untuk spesies tanaman yang model, seperti tembakau, beberapa genotipa menghasilkan tanaman haploid dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan genotipa yang lain. Karena pengaruh genotipa tersebut maka penting untuk diperhatikan diversitas genetik tanaman apabila mengembangkan protokol untuk memproduksi tanaman haploid melalui kultur antera.
• Komposisi media kultur
Androgenesis dapat diinduksi pada media sederhana seperti yang dikembangkan oleh Nitsch dan Nitsch (1969) untuk polen tanaman tembakau dan beberpa spesies lainnya. Akan tetapi untuk sebagian besar spesies, media yang umum digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan N6 (Chu, 1978) atau variasi kedua media tersebut. Dalam beberapa hal media perlu diperkaya dengan senyawa organik komplek seperti ekstrak kentang, air kelapa dan casein hidrolisat. Pada sebagian besar spesies, sukrosa yang digunakan dalam media antara 2-3% sementara untuk beberapa spesies lain khususnya tanaman serealia responnya lebih baik apabila konsentrasi gulanya lebih tinggi (hingga 15%). Pada beberapa spesies lain, penggunaan sumber karbohidrat seperti ribosa, maltosa dan glukosa mempunyai pengaruh yang lebih baik dibanding dengan sukrosa.
Pada beberapa spesies. seperti tembakau, penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur antera tidak diperlukan. Akan tetapi untuk sebagian besar spesies diperlukan auksin dalam media dengan konsentrasi rendah. Sitokinin yang dikombinasikan dengan auksin kadang-kadang diperlukan terutama untuk spesies yang memerlukan fase kalus sebelum dihasilkan tanaman haploid.
Kultur antera umumnya memerlukan bahan pemadat berupa agar. Akan tetapi karena agar mengandung senyawa yang dapat menghambat proses androgenesis, maka diperlukan bahan pemadat alternatif. Agarose dilaporkan merupakan bahan pemadat yang paling baik untuk kultur antera dari spesies serealia. Alternatif lain adalah dengan menggunakan media cair dengan cara menaruh antera di atas permukaan media yang disebut kultur mengapung atau ”float culture”.
Gambar G-7.1 . Diagram bunga (Sumber: www.teachnet.ie)
Gambar G-7.2. Skema kultur antera, organogenesis terjadi
secara langsung maupun tidak langsung (melalui tahap kalus)
• Kondisi tanaman donor
Umur dan kondisi fisiologis tanaman donor sering mempengaruhi keberhasilan kultur antera. Pada sebagian besar spesies, respon yang paling baik berasal dari bunga (atau kelompok bunga) pertama yang dihasilkan oleh tanaman. Sebagaimana umumnya antera yang dikulturkan harus berasal dari bunga yang masih kuncup.
Berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman donor juga mempengaruhi tanaman haploid yang dihasilkan. Pada beberapa spesies, intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu diketahui mempengaruhi jumlah tanaman haploid yang dihasilkan. Kondisi pertumbuhan optimum yang spesifik berbeda antara tanaman yang satu dengan yang lainnya. Secara umum hasil terbaik akan diperoleh dari tanaman yang pertumbuhannya sehat dan vigor.
• Tahap perkembangan polen
Faktor yang sangat kritis yang mempengaruhi produksi tanaman haploid dari kultur antera adalah tahap perkembangan mikrospora. Pada sebagian besar jenis tanaman, antera hanya responsif selama fase uninukleat dari perkembangan polen. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon optimum ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis pertama dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari mikrospora).
• Pra perlakuan
Pada beberapa spesies tanaman, produktivitas kultur anteranya dipengaruhi oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterilisasi dan isolasi antera. Produktivitas tanaman haploid tembakau yang dihasilkan sering meningkat dengan perlakuan penyimpanan kuncup bungan pada suhu 7-8oC selama 12 hari (Sunderland dan Robert, 1979). Untuk jenis tanaman lain, penyimpanan dapat dilakukan pada suhu antara 4-10oC selama 3 hari sampai dengan 3 minggu. Umumnya penyimpanan pada suhu yang lebih rendah memerlukan waktu yang lebih pendek dan sebaliknya. Perlakuan suhu pra inkubasi pada tanaman tertentu, seperti Brassica campestris L., dengan cara menyimpan biakan pada suhu 35oC selama 1-3 hari sebelum diinkubasi pada suhu 25oC, diketahui dapat meningkatkan keberhasilan kultur antera (Keller dan Amstrong, 1979).
Gambar G-7.3. Diagram dari beberapa tahap dalam kultur antera dan polen.
Keterangan:
Kultur antera: (a) Kuncup bunga yang belum terbuka; (1b) antera; (1c) antera yang dikulturkan secara in vitro; (1d dan 1e) antera yang mengalami proliferasi; (1f) kalus haploid; (1g) kalus yang sedang berdiferensiasi; (2d dan 2e) antera yang mengalami regenerasi langsung tanpa pembentukan kalus atau androgenesis; (h) plantlet haploid.
Kultur polen (mikrospora): (a) Kuncup bunga yang belum terbuka; (3b) polen yang sudah diisolasi dari antera; (3c) kultur polen; (3d) polen multinukleat; (3e dan 3f) embrio polen.
KULTUR EMBRIO DAN
PENYELAMATAN EMBRIO (EMBRYO CULTURE AND EMBRYO RESCUE)
Pada program pemuliaan tanaman, biasanya dilakukan
persilangan buatan antara tanaman induk (P) untuk menghasilkan hibrid baru.
Persilangan buatan lebih mudah berhasil bila dilakukan antar tanaman dengan
hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk memperoleh sifat-sifat yang diinginkan,
seringkali penyilangan dilakukan dengan tanaman liar atau bahkan persilangan
dengan varietas yang berbeda bila sifat-sifat tersebut tidak terdapat pada
kerabat dekatnya.
Penyerbukan dan pembuahan dapat berhasil namun setelah persilangan buatan seringkali dijumpai permasalahan antara lain buah yang terbentuk gugur saat embrio belum matang, terbentuk buah dengan endosperm yang kecil atau terbentuk buah dengan embrio yang kecil dan lemah. Kondisi tersebut dapat menghambat program pemuliaan tanaman karena embrio muda, embrio dengan endosperm kecil atau embrio kecil dan lemah seringkali tidak dapat berkecambah secara normal dalam kondisi biasa.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka embrio tersebut dapat diselamatkan dan ditanam secara aseptis dalam media buatan sehingga dapat berkecambah dan menghasilkan tanaman utuh. Teknik untuk menanam embrio muda ini dikenal dengan sebutan penyelamatan embrio (embryo rescue).
Selain teknik penyelamatan embrio ini dikenal juga teknik kultur embrio (embryo culture), yaitu penanaman embrio dewasa pada media buatan secara aseptis. Aplikasi kultur embrio ini antara lain perbanyakan tanaman, pematahan dormansi untuk mempercepat program pemuliaan serta perbanyakan tanaman yang sulit berkecambah secara alami, misalnya anggrek.
Embryo Culture atau kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara invitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang lengkap. Embrio culture adalah salah satu teknik kultur jaringan yang pertama kali berhasil, sejarahnya:
1. Tahun 1904, seorang ilmuwan bernama Hanning berhasil memperoleh tanaman sempurna dari embryo Cruciferae yang diisolasi secara invitro
2. Tahun 1924 adalah saat pertama kali dilakukan penelitian untuk memecahkan masalah dormansi biji secara invitro pada embrio Linum
3. Tahun 1933 Tuckey berhasil memperoleh tanaman dari immature embryo buah batu.
Penyerbukan dan pembuahan dapat berhasil namun setelah persilangan buatan seringkali dijumpai permasalahan antara lain buah yang terbentuk gugur saat embrio belum matang, terbentuk buah dengan endosperm yang kecil atau terbentuk buah dengan embrio yang kecil dan lemah. Kondisi tersebut dapat menghambat program pemuliaan tanaman karena embrio muda, embrio dengan endosperm kecil atau embrio kecil dan lemah seringkali tidak dapat berkecambah secara normal dalam kondisi biasa.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka embrio tersebut dapat diselamatkan dan ditanam secara aseptis dalam media buatan sehingga dapat berkecambah dan menghasilkan tanaman utuh. Teknik untuk menanam embrio muda ini dikenal dengan sebutan penyelamatan embrio (embryo rescue).
Selain teknik penyelamatan embrio ini dikenal juga teknik kultur embrio (embryo culture), yaitu penanaman embrio dewasa pada media buatan secara aseptis. Aplikasi kultur embrio ini antara lain perbanyakan tanaman, pematahan dormansi untuk mempercepat program pemuliaan serta perbanyakan tanaman yang sulit berkecambah secara alami, misalnya anggrek.
Embryo Culture atau kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara invitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang lengkap. Embrio culture adalah salah satu teknik kultur jaringan yang pertama kali berhasil, sejarahnya:
1. Tahun 1904, seorang ilmuwan bernama Hanning berhasil memperoleh tanaman sempurna dari embryo Cruciferae yang diisolasi secara invitro
2. Tahun 1924 adalah saat pertama kali dilakukan penelitian untuk memecahkan masalah dormansi biji secara invitro pada embrio Linum
3. Tahun 1933 Tuckey berhasil memperoleh tanaman dari immature embryo buah batu.
KULTUR
ORGAN
(kultur
embrio)
Definisi Kultur Embrio
• Isolasi secara steril embrio
matang ataupun
belum matang, dengan tujuan
memperoleh tanaman yang viabel
• macam kultur embrio:
– Kultur
embrio yg belum matang, utk
mencegah
keguguran : embryo rescue
– Kultur
embrio matang, utk merangsang
perkecambahan : embryo culture
Tujuan : membantu perkecambahan embrio mjd tanaman lengkap
• Diperlukan dlm embrio yg memp masalah :
_ Menunjukkan masa dormansi yang panjang
_ Embrio hibrida hasil penyilangan
interspesifik yg tidak
kompatibel dg endospermnya
_ Embrio dg endosperm yg rusak spt kelapa
kopyor
_ Embrio tanpa endosperm spt pd anggrek
• Penting dlm ilmu fisiologi, dlm hal perkembangan embrio
_ Pengertian ttg kebutuhan nutrisi embrio
pd berbagai tahap
perkembangan (Percobaan media perlakuan )
_ Kemampuan regenerasi dr potongan2 embrio
• Sangat penting dlm pemuliaan tanaman.
Contoh aplikasi kultur embrio
1. Memecahkan dormansi
– Pd Musa balbisiana, tdk mungkin
memperoleh perkecambahan
secara normal
– Cherry, hazel, acer
: tanaman yg memiliki dormansi panjang
2.Mencegah gugurnya embrio pd persilangan
interspesifik
– Persilangan ini
sering menghasilkan biji dengan endosperm yg tdk
sempurna, atau embrio yg lemah, kecil.
Contoh: Kacang, Kapas,
Tomat, Padi.
3. Hibridisasi utk produksi triploid
(buah tanpa biji)
– Jeruk triploid
Citrus sinensis
Diploid citrus X tetraploid citrus =
jeruk tanpa biji
– Pisang triploid
Musa acuminata (AA) X Musa balbisiana (BB) =
pisang tanpa biji (AAB)
Faktor yg mempengaruhi keberhasilan
kultur embrio
1. Genotipe
– Genotip menentukan mudah tidaknya embrio diisolasi
dan ditumbuhkan
2. Tahap
(stage) embrio diisolasi
– prinsipnya embrio yang lebih besar akan lebih baik
3. Tanaman
inang
– Sebaiknya ditumbuhkan di rumah kaca/ kondisi
terkontrol.
4. Media kultur embrio
– Hara makro dan
mikro
– Ph 5.0 – 6.0
– Sukrosa sbg sumber
energi. Embrio belum matang
perlu 8 –
12%, matang perlu 3%.
– Auksin dan
sitokinin tidak diperlukan. GA untuk
memecahkan
dormansi
– Vitamin (optional)
– Senyawa organik
(opt), air kelapa, casein
hydrolisate, glutamin (penting).
5. Lingkungan
– Oksigen (perlu
oksigen tinggi)
– Cahaya : kadang
embrio perlu ditumbuhkan dlm
gelap
selama 14 hari, kemudian ditransfer ke
cahaya
untuk merangsang sintesa klorofil
– Suhu : kadang perlu
perlakuan dingin (vernalisasi,
4oC) untuk memecah
dormansi
============
============
PERANAN KULTUR JARINGAN
DALAM MEMPEROLEH BENIH
UNGGUL
Oleh:
GATI WINDIASTIKA, SP. MP
(PBT Ahli Pertama)
Balai Besar Perbenihan
dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya
Perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan (in vitro) menawarkan peluang besar untuk menghasilkan
jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat, sehingga lebih
ekonomis. Teknik perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa
bergantung musim. Selain itu, perbanyakan dengan teknik in vitro mampu
mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar, serentak dan bebas penyakit
sehingga bibit yang dihasilkan lebih sehat serta seragam. Oleh sebab itu,
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan teknik alternatif yang
tidak dapat dihindari bila penyediaan bibit tanaman harus dilakukan dalam skala
besar dan dalam waktu yang relatif singkat.
1. Pengertian Kultur
Jaringan
Kultur jaringan atau tissue
culture berasal dari dua kata yaitu kultur atau culture dan jaringan
atau tissue. Kultur adalah budidaya, sedangkan jaringan adalah
sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama (Nugroho dan Sugito,
2005). Sehingga kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman
menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat sama seperti induknya. Kultur
jaringan tanaman yang juga disebut weefsel cultuss atau gewebe kultur
merupakan teknik menumbuh-kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel,
jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini
dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan
dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi
ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Hendaryono dan Wijayani,
1994).
2. Manfaat Kultur Jaringan
Manfaat utama dari perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam
jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat serta mempunyai sifat fisiologis
dan morfologi sama dengan tanaman induknya. Dari teknik kultur jaringan ini
diharapkan pula dapat memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul.
Teknik kultur jaringan sangat
bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama di bidang fisiologi tanaman
dan untuk pengembangan bioteknologi. Melalui kultur jaringan ternyata juga
berpengaruh terhadap devisa negara. Misalnya, terlaksananya ekspor tanaman ke
negara lain, maka akan menaikkan devisa negara di sektor pertanian.
3. Kelebihan dan Kelemahan
Perbanyakan Secara In Vitro
Kelebihan dari perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan dibandingkan dengan perbanyakan tanaman secara
konvesional, adalah sebagai berikut:
a.
Mampu menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah lebih banyak dalam waktu yang
relatif singkat sehingga lebih ekonomis.
b.
Tidak tergantung pada iklim atau cuaca.
c.
Bisa menghasilkan tanaman sehat yang bebas cendawan, bakteri, virus dan hama
penyakit.
d.
Mampu mempertahankan sifat baik tanaman induk dan menekan genetic erosian dan
memungkinkan dilakukan manipulasi genetik.
e.
Tidak merusak percabangan tanaman yang dipotong karena menggunakan setek
batang.
f.
Tidak membutuhkan lahan yang luas untuk pembibitan.
g.
Hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja.
h. Dapat digunakan untuk
memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat diperbanyak secara
konvesional
Adapun kelemahan dari
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah:
a.
Dibutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia.
b. Dibutuhkan keahlian khusus
untuk melaksanakannya.
c.
Tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan terbiasa hidup di tempat
yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan
eksternal. Aklimatisasi planlet merupakan salah satu tahap kritis yang sering
menjadi kendala dalam produksi bibit secara masal.
d.
Masih dinilai mahal bagi kalangan peneliti atau pengusaha di Indonesia karena
menggunakan bahan kimia yang sebagian besar diimpor.
e. Biaya yang dikeluarkan untuk
mikropropagasi (penggunaan lampu sebagai pengganti sinar matahari dan AC untuk
mengatur suhu) cukup besar. Namun, biaya mahal untuk in vitro dapat
ditekan dengan cara melakukan propagasi ex vitro dengan perlakuan
bioteknologi.
(Yusnita, 2005)
4. Tahapan Kultur Jaringan
Tanaman
Dalam pelaksanaan kultur
jaringan, menurut Prihandana dan Hendroko, 2006, secara berurutan langkah kerja
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan dan persiapan
tanaman induk sumber eksplan
Sebelum melakukan kultur
jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah
memilih tanaman induk yang hendak diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas
jenis, spesies dan varietasnya, serta harus sehat dan bebas dari hama dan
penyakit. Selanjutnya harus mempersiapkan dan mengondisikan tanaman induk
sedemikian rupa agar eksplan yang digunakan dapat tumbuh baik pada waktu
dikulturkan secara in vitro.
b. Sterilisasi alat dan medium
Sterilisasi merupakan upaya
untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di permukaan
eksplan. Peralatan yang akan digunakan untuk kultur jaringan harus disterilkan
terlebih dahulu. Setelah dicuci dan dikeringkan, kemudian peralatan dibungkus
dengan kertas payung atau aluminium foil dan disterilkan di dalam autoklaf
dengan suhu 121oC, tekanan 15 psi (Pounds per Square Inch) dan
lama sterilisasi 20-30 menit.
Botol-botol eksplan yang sudah
berisi medium setelah ditutup dengan aluminium foil, kemudian disterilkan.
Sterilisasi medium lebih singkat waktunya dibandingkan dengan sterilisasi
peralatan, yakni 15 menit tetapi suhu dan tekanannya sama.
c. Pembuatan media kultur
(media preparasi)
Media kultur yang akan
digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanamannya. Untuk mempermudah
menggunakan media kultur, maka sebaiknya perlu dibuat larutan induk atau
larutan stok. Pembuatan larutan stok terdiri dari:
Larutan induk hara makro untuk persenyawaan NH4NO3, KNO3, CaCl2.2H2O, MgSO4.7H2O, KH2PO4, FeSO4.7H2O dan Na2EDTA.
Larutan induk hara mikro untuk persenyawaan MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O, H3BO3, KI dan Na2MoO4.2H2O.
Larutan induk vitamin, antara lain terdiri dari tiamin HCl, asam nikotinat,
piridoksin HCl dan glisin.
Larutan induk zat pengatur
tumbuh, terdiri dari auksin dan sitokinin.
d. Pembuatan bahan eksplan
(Inisiasi)
Eksplan merupakan bahan tanam
yang akan dikulturkan. Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan,
eksplan merupakan faktor penting sebagai penentu keberhasilan. Hal-hal yang
harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan adalah:
Umur fisiologis, sangat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan. Eksplan dari
jaringan tanaman yang masih muda secara fisiologis, umumnya lebih baik daripada
jaringan tanaman tua.
Umur ontogenetik, adalah masa
transisi dari fase pertumbuhan juvenil menuju fase dewasa. Fase juvenil adalah
periode pembungaan tidak terjadi dan tidak dapat dirangsang dengan perlakuan
yang biasa digunakan untuk merangsang pembungaan. Umumnya eksplan yang diambil
dari tanaman induk yang masih juvenil karena mudah beregenerasi. Sedangkan fase
dewasa (adult atau mature) adalah masa perkembangan tanaman sudah
mampu berbunga. Daya regenerasi eksplan dari tanaman induk dewasa umumnya lebih
rendah dibandingkan dengan eksplan dari tanaman juvenil. Artinya jika eksplan
diambil dari tanaman induk yang sudah dewasa atau sudah mampu berbunga, eksplan
tersebut umumnya lebih sulit membentuk tunas dibandingkan dengan eksplan yang
diambil dari tanaman induk yang masih juvenil, walaupun secara fisiologis
jaringannya sama-sama masih muda.
Ukuran eksplan, yang berukuran besar berisiko kontaminasi lebih tinggi
dibandingkan dengan yang berukuran kecil, tetapi kemampuan hidupnya lebih besar
dan tumbuhnya lebih cepat. Sebaliknya, eksplan yang berukuran kecil (meristem
atau tunas pucuk) kemungkinan terkontaminasinya jauh lebih kecil, tetapi tumbuh
lebih lambat.
Bagian tanaman yang
digunakan. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah
jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan yang masih muda mempunyai daya
regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif lebih
bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan). Sementara itu, jaringan tanaman
yang sudah tua lebih sulit beregenerasi dan biasanya mengandung lebih banyak
kontaminan. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah biji
atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk,
potongan batang satu buku (nodal explant), potongan akar, potongan daun,
potongan umbi batang, umbi akar, empulur batang, umbi lapis dengan sebagian
batang dan bagian bunga.
Inisiasi merupakan upaya
penumbuhan meristem atau bagian tanaman (mata tunas, ujung akar, ujung daun
muda, keping biji dan sebagainya) agar tumbuh dalam botol yang bebas hama dan
penyakit. Tahap inisiasi ini dilakukan dengan metode inokulasi. Inokulasi
adalah kegiatan penanaman eksplan ke dalam botol kultur atau penanaman ulang
eksplan pada media dengan jenis yang sama atau tahap pertumbuhan selanjutnya.
Inokulasi bisa dilakukan di dalam laminar air flow cabinet (LAFC) atau
entkas. Sebelum digunakan, semua peralatan harus disterilisasi terlebih dahulu.
Tujuan utama dari tahap ini adalah mengusahakan kultur yang aseptik berarti
bebas dari mikroorganisme.
e. Penumbuhan tanaman kultur
atau eksplan (inkubasi)
Inkubasi merupakan tahapan
kegiatan kultur yang bertujuan untuk menumbuhkan eksplan yang telah ditanam
dalam botol kultur. Botol kultur yang akan digunakan harus disiapkan terlebih
dahulu kemudian diletakkan pada rak inkubasi berdasarkan kelompok jenis
tanaman, kultivar, tahapan dan perlakuan khusus lain. Selanjutnya dilakukan penyetelan
terhadap cahaya, kelembaban dan suhu. Sebagai langkah terakhir, dilakukan
pengontrolan. Apabila ada botol kultur yang
terkontaminasi,
maka botol tersebut harus dikeluarkan dari ruang inkubasi.
Tahap ini juga sering disebut
poliferasi atau multiplikasi merupakan tahap penumbuhan tunas hasil inisiasi
yang dirangsang dengan memotong plantlet dengan media kultur baru. Tahap ini
dilakukan dengan metode subkultur yaitu usaha untuk menggantikan media tanaman
kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan kalus dapat terpenuhi.
Subkultur dapat dilakukan
beberapa kali sampai jumlah tunas yang dihasilkan sesuai dengan yang kita
harapkan. Subkultur yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu tunas, seperti
terjadinya vitrifikasi (suatu gejala ketidaknormalan fisiologis) dan aberasi
(penyimpangan) genetik. Keadaan ini terjadi karena semakin banyak subkultur
dilakukan berarti semakin sering tanaman dikondisikan dalam media yang
mengandung sitokinin, sehingga daya regenerasinya meningkat.
f. Pengadaptasian plantlet atau
hardening dengan metode aklimatisasi
Aklimatisasi bertujuan untuk
mengadaptasikan tanaman hasil kultur terhadap lingkungan baru (di luar botol
kultur) sebelum ditanam di lahan yang sebenarnya. Pada tahap ini, plantlet atau
tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol, misalnya rumah kaca. Tahap
ini merupakan tahap kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, sangat
jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol. Kondisi di luar botol
berkelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik dan tingkat intensitas
cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi di dalam botol. Sehingga planlet
akan mengalami hardening yaitu penyesuaian secara bertahap dari tanaman yang
ditumbuhkan secara in vitro ke kondisi eksternal.
=======
2.2 Sejarah Singkat
Teknik pembiakan tanaman secara
kultur jaringan atau pembiakan secara in vitro telah berkembang dalam
rentang waktu yang cukup panjang. Meskipun prinsip dasar teknik pembiakan ini
telah dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden (1838), namun Haberlandt yang
kemudian dianggap sebagai pelopor dalam pembiakan In vitro.
Teknologi ini mulai
dikembangkan oleh Haberlandt pada tahun 1902 berdasarkan teori totipotensi sel.
Haberlandt berspekulasi bahwa setiap sel mampu tumbuh dan berkembang menjadi
tanaman normal jika dikulturkan pada nutrisi dan lingkungan yang tepat.
Keberhasilan pertama dalam kultur in vitro dicapai dalam praktek kultur
organ. Teknik penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun
1900an, teknik ini memungkinkan benih yang belum matang atau embrio
diselamatkan untuk membentuk tanaman baru, hal ini pada umumnya dilakukan untuk
benih–benih yang memiliki masa dormansi yang panjang. Menurut Shabde, Moses
& Murhasige (1979), pada tahun 1904 telah berhasil mendapatkan kecambah
tanaman jenis cruciferae dari embrio-embrio yang diisolasi dari biji yang belum
matang.
White (1934) menunjukkan
pertumbuhan organ yang tidak terbatas di dalam kultur In vitro akar
tomat. Kultur organ merupakan topik yang penting dalam penelitian antara tahun
1940-1960. Setelah itu penelitian dalam bidang ini berkurang, kecuali kultur
pucuk/meristem. Selain kultur pucuk, pada tahun 60-an, kultur akar mendapat
perhatian lagi pada beberapa tanaman tertentu sehubungan dengan tujuan produksi
metabolit sekunder, terutama untuk jenis-jenis persenyawaan yang berasosiasi
dengan akar. 8
2.3 Pengertian
Pembiakan tanaman secara in
vitro merupakan metode pengisolasian bagian tanaman (sel, jaringan, atau
organ) kemudian menumbuhkannya pada media buatan dalam wadah tembus pandang dan
kondisi aseptik, hingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri,
tumbuh menjadi tanaman lengkap (plantlet) kembali. Pelaksanaan teknik ini
memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan yang
dibiakkan. Hal yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril.
Media adalah tempat bagi jaringan
untuk tumbuh dan memperoleh nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media
tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan
memperbanyak dirinya. Media tumbuh dapat berupa media cair, media padat atau
semi padat. Untuk menentukan bentuk media yang akan digunakan, akan sangat
bergantung pada jenis eksplan dan spesies tanaman yang akan dibiakkan.
Teknik kultur jaringan
memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Berbeda dari teknik
perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan
dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.
Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Disebut in
vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena jaringan
tersebut ditumbuhkan dalam botol kaca yang tembus pandang. Selain botol kaca
juga dapat digunakan botol plastik yang tahan panas hingga 125ºC, pemanasan
dilakukan untuk mensterilisasi wadah tanam.
Prinsip Dasar
Kemampuan dari bagian tanaman
yang dikulturkan (eksplan) untuk memperbanyak diri (beregenerasi,
embriogenesis, organogenesis) hingga terbentuk individu/tanaman baru (planlet)
didasari oleh teori sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann (1838).
Teori sel menyatakan bahwa sel tumbuhan maupun hewan merupakan suatu kesatuan
biologis terkecil yang mampu mengadakan segala aktivitas yang berhubungan
dengan kehidupan, sehingga setiap sel yang hidup mempunyai sifat yang disebut
Totipotensi Sel (Total genetik potensial dari sel). Totipotensi sel dapat
diartikan bahwa setiap sel hidup mempunyai potensi/kemampuan genetik secara
otonom untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna bila
ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai (Gamborg dan Shyluk, 1981). 9
Selain
totipotensi, kultur jaringan pada tanaman dimungkinkan karena sel tanaman
memiliki kemampuan rediferensiasi dan kompetensi. Rediferensiasi adalah
kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi ke kondisi meristematik dan
dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh
rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi organ baru. Kemampuan
kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh
dan berkembang dalam satu jalur tertentu.
2.5 Aplikasi Pembiakan In
vitro
Dalam perkembangan selanjutnya,
teknik in vitro tidak hanya digunakan untuk memperbanyak tanaman, tetapi
juga digunakan untuk tujuan lain. Adapun kegunaan yang dapat dicapai dengan
teknik in vitro dalam aplikasinya dibidang pertanian adalah sebagai
berikut:
1. Perbanyakan tanaman
secara massal.
Perbanyakan tanaman dapat
dilakukan secara massal sehingga dapat dihasilkan bibit tanaman dalam jumlah
yang banyak dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan bahan tanam
(eksplan) yang berukuran kecil (1 mm - 10 mm)
2. Menghasilkan bibit bebas
patogen dan meyelamatkan klon dari kepunahan
Dapat dihasilkan bibit tanaman
yang bebas patogen dan untuk mendapatkan/menyelamatkan klon dari suatu tetua
unggul yang langka karena terserang suatu penyakit yang mematikan, misalnya
induk tanaman jeruk yang terserang CVPD (dengan menggunakan eksplan dari
meristem apikal yang berukuran 0,1 mm 1,0 mm).
3. Seleksi tanaman terhadap
kondisi tertentu.
Teknik in vitro dapat
digunakan untuk melakukan seleksi terhadap berbagai jenis galur/varietas
tanaman untuk mendapatkan jenis yang tahan terhadaptingkat ketahanan tertentu,
misalnya tingkat ketahanan pada pH tertentu, tingkat salinitas dan lainnya.
4. Koleksi dan konservasi
plasma nutfah.
Mengoleksi dan mengkonservasi
berbagai jenis tanaman sebagai sumber keragaman genetik dapat dilakukan dengan
teknik in vitro hanya dalam suatu laboratorium yang 10
berukuran
kecil dan mudah untuk dipertukarkan ke tempat lain/kota/negara lain karena
ukurannya yang kecil dan dalam wadah botol/tabung gelas yang aseptik.
5. Mendapatkan mutan-mutan
harapan
Teknik in vitro dapat
digunakan untuk menghasilkan mutan-mutan yang diharapkan mempunyai sifat-sifat
unggul, seperti tahan terhadap kekeringan, tahan terhadap kadar Aluminium yang
tinggi dsb.
6. Menghasilkan senyawa
sekunder.
Dapat dihasilkan senyawa
sekunder yang mempunyai manfaat dalam bidang kesehatan (obat-obatan) dan
industri hanya dengan menghasilkan sel-sel dari suatu tanaman tertentu yang
nantinya akan diekstrak untuk mendapatkan senyawa sekunder tersebut, misalnya
saponin dari tanaman ginseng.
BAB III. Tahapan Perkembangan dan Pelaksanaan Kultur Jaringan
3.1 Pendahuluan
Pembiakan in vitro melibatkan
serangkaian perubahan morfologis dan fisiologis yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Bab ini menjelaskan tahapan perkembangan eksplan dan tahapan
pelaksanaan kultur jaringan. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan
memperoleh gambaran bagaimana tahapan perkembangan eksplan kembali menjadi
tanaman utuh dan bagaimana tahapan pelaksanaan teknik ini.
3.2 Morfogenesis,
Organogenesis, dan Embryogenesis
A. Morfogenesis
Morfo berarti bentuk dan
genesis berarti asal mula, sehingga morfogenesis bisa diartikan dengan asal
mula terjadinya suatu bentuk. Beberapa pendapat tentang morfogenesis adalah
sebagai berikut:
Menurut Strasburger (1978):
Morfogenesis adalah proses pembentukan organisme yang dipengaruhi faktor
internal (endogen) dan fektor eksternal (exogen). Strassburger menyatakan bahwa
pengertian morfogenesis ada 2 kelompok, yatu:
Automorfose; yaitu proses
pembentukan yang dipengaruhi gen, antara lain perkembangan organ generatif
angiospermae, yaitu selama pembentukan bunga yang dilengkapi dengan pembentukan
polen, maka kemudian dapat terbentuk biji, sedangkan yang tidak dilengkapi oleh
pembentukan polen, kemudian tidak berbiji.
Heteromorfose; yaitu proses
pembentukan yang dipengaruhi oleh adanya induksi dari luar, antara lain: oleh
adanya cahaya (fotomorfose) adanya air (hidromorfose) dan oleh pengaruh panas
(termomorfose). Menurut Hill (1982): Morfogenesis adalah proses pertumbuhan dan
perkembangan bentuk, diferensiasi suatu organisme.
Morfogenesis dipengaruhi oleh
dua faktor utama yaitu genotipe dan lingkungan tumbuh tanaman. Genotipe tanaman
akan menentukan bagaimana pertumbuhan jaringan tanaman, dan morfogenesisnya
secara in vitro. Faktor penting lain yang mempengaruhi morfogenesis
adalah llingkungan, yaitu aspek pertukaran gas, temperatur, cahaya, dan
komposisi media kultur. 13
Morfogenesis
baik secara langsung maupun tidak, sangat tergantung pada keseimbangan
komposisi yang tepat antara bahan organik, anorganik dan senyawa pengatur
tumbuh tanaman.
B. Organogenesis
Organogenesis merupakan istilah
yang merujuk pada proses terbentuknya organ (pucuk dan/atau akar adventif) dari
kalus. Keragaman genetis merupakan salah satu faktor penting karena merupakan
bahan baku dalam upaya pemuliaan tanaman tersebut. Dalam kultur jaringan dapat
diperoleh variasi somaklonal melalui kultur kalus. Variasi somaklonal dalam
kultur jaringan dapat terjadi karena adanya transposable genetic element yang
menempel pada sekuen DNA yang menyebabkan terjadinya perubahan fenotipik. Dalam
bentuk kalus perlakuan mutasi akan lebih mudah menampakkan hasilnya. Kalus yang
telah diberi perlakuan mutagen kemudian diarahkan kembali pertumbuhannya untuk
membentuk pucuk dan/atau akar adventif
Proses organogenesis ditandai
dengan pembentukan struktur unipolar yaitu hanya pembentukan titik tumbuh daun
atau akar secara terpisah. Karena prosesnya mirip dengan perkembangan pada
biji, tanaman klonal yang dihasilkan dengan teknik SE secara
morfologis/arsitektural sangat mirip dengan tanaman asal dari biji, sedangkan
tanaman dari proses organogenesis bentuk tanaman mirip dengan tanaman asal
setek.
Bhojwani dan Razdan (1983)
menyatakan bahwa tanaman-tanaman yang diregenerasikan dari kultur kalus dan
kultur sel memperlihatkan ekspresi genetik yang tidak selalu stabil.
Ketidakstabilan genetik, seperti poliploidi, aneuploidi, yang umum pada kultur
kalus dan kultur sel (Reisch, 1983). Sebagai contoh, Asparagus officinalis yang
diperbanyak melalui kultur kalus memperlihatkan adanya poliploidi dan
aneuploidi, sedangkan yang diperbanyak melalui kultur tunas semuanya bersifat
diploid (normal). Sementara itu, Mohamed et al., (1993) menyatakan
bahwa morfogenesis pucuk dari jaringan kalus Phaseolus vulgaris terkadang
disertai oleh timbulnya keragaman somaklon. Keragaman somaklon tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai sumber keragaman genetik. Oleh karena itu, teknologi
kultur kalus dan kultur sel dapat menjadi sarana penyediaan keragaman genetik
bagi para pemulia tanaman dan menawarkan pendekatan baru bagi perbaikan tanaman
melalui seleksi in vitro.
C. Embryogenesis 14
Istilah
ini digunakan untuk menyatakan perkembangan embrio lengkap dari sel-sel
vegetative yang dihasilkan dari berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan pada
system kultur jaringan (Hartmann et al., 1990). Fenomena perkembangan
embrio dari jaringan tanaman yang dikulturkan, pertama kali diamati oleh
Stewart et al. (1958) pada kultur suspensi Daucus carota dan
Reinert (1959) pada kultur kalus spesies tanaman yang sama.
Sama seperti embrio zigotik
yang berkembang dari penyatuan gamet jantan dan gamet betina, embrio somatik
pun tumbuh dan berkembang melewati tahapan-tahapan yang sama. Tahapan-tahapan
tersebut adalah oktan, globular, awal hati, hati, torpedo, dan embrio dewasa.
Rice et al., (1992)
menyatakan bahwa embryogenesis somatik merupakan teknik yang paling menjanjikan
untuk perbanyakan dalam waktu cepat pada tanaman pertanian. Embrio-embrio
somatik dapat muncul langsung dari permukaan eksplan, misalnya pada eksplam
kotiledon Cucumis sativus (Ladyman dan Girard, 1992) dan tunas Foeniculum
vulgare (Theiler-Hedtrich dan Kagi, 1992) atau setelah fase penggandaan
yang melibatkan pembentukan kalus, seperti pada Iris pumila (Radojevic et
al., 1987), Fuchsia (Dabin dan Beguin, 1987), dan Swainsona
formosa (Zulkarnain, 2003).
Kemampuan regenerasi embrio
somatik pada kultur sel, memungkinkan untuk diregenerasikannya tanaman lengkap
bila regenerasi melalui organogenesis tidak memungkinkan. Suatu keuntugan yang
nyata dari embriogenesis somatik adalah embrio-embrio somatik adalah embrio-embrio
somatik yang dihasilkan bersifat bipolar, yakni memiliki ujung-ujung akar dan
pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap. Pada organogenesis,
perkembangan pucuk dan akar sering terjadi secara terpisah dan sangat
tergantung pada perubahan media. Disamping itu, kultur-kultur yang bersifat
embriogenetik dapat menghasilkan embrio dalam jumlah besar dalam satu wadah
kultur, lebih banyak daripada pucuk-pucuk majemuk yang diregenerasikan secara
adventif melalui organogenesis. Bila kultur tersebut dipindahkan pada medium
cair maka embrio-embrio tersebut dapat terpisah satu sama lain dan mengapung
bebas dalam medium. Oleh karena itu, embrio-embrio tersebut tidak perlu
dipisahkan secara manual, sehingga sejumlah besar embrio dapat dipindahkan dengan
mudah ke dalam wadah baru yang sesuai untuk ditumbuhkan menjadi tanaman
lengkap. 15
3.3 Tahapan Pelaksanaan Kultur Jaringan
A. Pemilihan dan Penyiapan
Tanaman Induk Sumber Eksplan
Sebelum melakukan kultur
jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus dilakukan adalah
memilih bahan induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis,
spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit.
Tanaman indukan sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan dipersiapkan
secara khusus di rumah kaca atau green house agar eksplan yang akan dikulturkan
sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu
dikulturkan secara in vitro.
Lingkungan tanaman induk yang
lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas eksplan. Pemeliharaan
rutin yang harus dilakukan meliputi: pemangkasan, pemupukan, dan penyemprotan
dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru
yang tumbuh menjadi lebih sehat dan bersih dari kontaminan. Selain itu
pengubahan status fisiologi tanaman induk sumber eksplan kadang-kadang perlu
dilakukan seperti memanipulasi parameter cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh.
Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan
fotoperiodisitas dan temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta
penambahan ZPT seperti sitokinin untuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan
untuk meningkatkan reaktivitas eksplan pada tahap inisiasi kultur (Yusnita,
2003).
B. Inisiasi Kultur
Tujuan utama dari propagasi
secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan yang bebas
mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). Ditambahkan
pula menurut Yusnita, 2004, bahwa tahap ini mengusahakan kultur yang aseptik
atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik
berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga
diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru,
sehingga akan memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya
paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya
(Wetherell, 1976).
Untuk mendapakan kultur yang
bebas dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi merupakan upaya
untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang 16
menempel
di permukaan eksplan. Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk
mensterilkan permukaan eksplan adalah NaOCl, CaOCl2, etanol, Na2H2O2 dan AgCl2.
Kesesuaian bagian tanaman untuk
dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh banyak faktor. Tanaman yang memiliki
hubungan kekerabatan dekat pun, belum tentu menunjukkan respon in-vitro yang
sama (Wetherell, 1976). Penggunaan eksplan yan tepat merupakan hal penting yang
juga harus diperhatikan pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman
induk, serta ukuran eksplan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan,
merupakan faktor penting dalam tahap ini. Bagi kebanyakan tanaman, eksplan yang
sering digunakan adalah tunas pucuk (tunas apikal) atau mata tunas lateral pada
potongan batang berbuku. Namun belakangan ini, eksplan potongan daun yang
dulunya hanya digunakan untuk tanaman-tanaman herba, seperti violces, begonia,
petunia dan tomat, ternyata dapat digunakan juga untuk tanaman-tanaman berkayu
seperti Ficus lyrata, Annona squamosa, dan melinjo. Eksplan yang
dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman Anthurium sendiri diantaranya adalah
tunas pucuk, daun, tangkai daun muda, tangkai bunga, spate, spandik, biji, ruas
batang dan anthera.
Umur fisiologis dan umur
ontogenetik jaringan tanaman yang dijadikan eksplan juga berpengaruh terhadap
potensi morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal dari tanaman juvenil
mempunyai daya regenerasi tinggi untuk membentuk tunas lebih cepat dibandingkan
dengan eksplan yang berasal dari tanaman yang sudah dewasa.
Masalah yang sering dihadapi
pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman bagian
eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul akibat
stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan
dari tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat
pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.
C. Multiplikasi atau
Perbanyakan Propagul
Tahap ini bertujuan untuk
menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak seperti tunas atau
embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa
dilanjutkan untuk tahap berikutnya (Yusnita, 2004). Pada tahap ini, perbanyakan
dapat dilakukan dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan
percabangan aksiler atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara
adventif, baik 17
secara
langsung maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam
kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin,
dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat (Wetherell, 1976).
Hormon yang digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari
golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau thidiadzuron (TDZ).
Kemampuan memperbanyak diri
yang sesungguhnya dari suatu perbanyakan secara in-vitro terletak pada
mudah tidaknya suatu materi ditanam ulang selama multiplikasi (Wetherell,
1976). Eksplan yang dalam kondisi bagus dan tidak terkontaminasi dari tahap
inisiasi kultur dipindahkan atau disubkulturkan ke media yang mengandung
sitokinin. Subkultur dapat dilakukan berulang-ulang kali sampai jumlah tunas
yang kita harapkan, namun subkultur yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu
dari tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya penyimpangan genetik (aberasi),
menimbulkan suatu gejala ketidaknormalan (vitrifikasi) dan frekuensi terjadinya
tanaman off-type sangat besar.
D. Pemanjangan Tunas,
Induksi, dan Perkembangan Akar
Tujuan dari tahap ini adalah
untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat untuk dapat bertahan
hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan luar.
Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh
lingkungan, sehingga siap untuk diaklimatisasikan (Wetherell, 1976).
Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain
untuk pemanjangan tunas. Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin
sangat rendah atau tanpa sitokinin. Tunas tersebut dapat dipindahkan secara
individu atau berkelompok.
Pemanjangan tunas secara
berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup
panjang, tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya
dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru
diakarkan. Pengakaran tunas in-vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas
ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA.
Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan
pada tahap sebelumnya. Disamping itu, beberapa perlakuan yang disebut hardening
in vitro telah dilaporkan dapat meningkatkan mutu tunas sehingga planlet
atau tunas mikro tersebut dapat diaklimatisasikan dengan persentase yang lebih
tinggi. Beberapa perlakuan yang bisa dilakukan yaitu dengan 18
mengkondiskan
kultur di tempat yang pencahayaannya berintensitas lebih tinggi (contohnya
10000 lux) dan suhunya lebih tinggi. Pemanjangan dan pemanjangan tunas mikro
dilakukan dalam media kultur dengan hara mineral dan sukrosa lebih rendah dan
konsentrasi agar-agar lebih tinggi (Yusnita, 2004).
E. Aklimatisasi
Dalam proses perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet merupakan salah satu
tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara massal.
Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar
botol seperti rumah kaca, rumah plastik, atau screen house (rumah kaca
kedap serangga). Proses ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses
pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara
ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah,
pakis, atau media lainnya sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi
bibit yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan
baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi
eksternal dengan keberhasilan yang tinggi.
Tahap ini merupakan tahap
kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik, rumah bibit,
dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol.
Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan
tingkat intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol.
Planlet atau tunas mikro lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa
tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi, aseptik, serta suplai hara
mineral dan sumber energi berkecukupan.
3.4 Terminologi dalam Kultur
Jaringan
Kultur jaringan adalah istilah
umum yang ditujukan pada budidaya secara in vitro terhadap berbagai
bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel, protoplas,
dan embrio. Bagian-bagian tersebut yang diistilahkan sebagai eksplan, diisolasi
dari kondisi in vivo dan dikultur pada medium buatan yang steril sehingga dapar
beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Street, 1973).
Hartmann et. al (1990) menggunakan istilah yang lebih spesifik, yaitu
mikropropagasi terhadap pemanfaatan teknik kultur jaringan 19
dalam
upaya perbanyakan tanaman. Dimulai dari pengkulturan bagian tanaman yang sangat
kecil (eksplan) secara aseptik di dalam tabung kultur atau wadah lain yang
serupa.
Pemahaman terhadap
istilah-istilah yang sering digunakan dalam kultur in vitro merupakan
suatu hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu, disamping kultur jaringan dan
mikropropagansi, Hartmann et al. (1990) mengemukakan lima istilah yang
diterapkan untuk menunjukkan tipe-tipe dasar dari regenerasi tanaman secara
vegetative (regenerasi somatik). Kelima istilah tersebut didasarkan atas macam
eksplan yang digunakan dalam kaitannya dengan siklus hidup tanaman, yaitu
kultur meristem, proliferasi pucuk aksilar, induksi tunas adventif,
organogenesis, dan embryogenesis somatik.
Kultur meristem adalah metode
perbanyakan tanaman dengan mengkulturkan potongan tunas dengan ukuran sangat
kecil yang terdiri atas satu kubah meristem dengan dua atau tiga primordial
daun di bawahnya. Kultur meristem terutama dimanfaatkan dalam program eliminasi
penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh partikel virus. Apabila
meristem yang dikulturkan tidak mampu bertahan hidup dan menghasilkan akar maka
sebagai alternatifnya dilakukan prosedur sambung mikro (micrografting) (Taji
et al,. 2002).
Proliferasi pucuk aksilar
ditujukan pada perkembangan pucuk pada titik tumbuh lateral atau tunas samping,
dimana pertumbuhan tunas terminal tertekan atau hilang sama sekali, sedangkan
pertumbuhan tunas samping mengalami peningkatan. Dengan proliferasi pucuk
aksilar akan diperoleh pucuk-pucuk mikro (microshoot) yag dapat dipotong
dan selanjutnya diperakarkan secara in vitro untuk mendapatkan
tanaman-tanaman mikro microplant). Dapat pula pucuk-pucuk mikro tersebut
dipotong dan dijadikan setek mikro (microcutting) dan diperakarkan
secara in vivo dalam pot-pot kecil.
Induksi tunas adventif
melibatkan inisiasi tunas-tunas adventif, baik secara langsung permukaan
eksplan yang dikulturkan atau secara tidak langsung pada permukaan kalus
eksplan yang terbentuk. Kalus adalah massa sel yang belum berdiferensiasi dan
tumbuh dari proliferasi sel-sel yang tidak berorganisasi. Terbentuknya kalus
merupakan akibat dari adanya perlukaan pada permukaan eksplan dan pengaruh
perlakuan zat pengatur tumbuh yang diberikan media kultur. 20
BAB IV. Teknik Aseptik Peralatan Kultur Jaringan dan Lab Biosafety
4.1 Pendahuluan
Kondisi aseptik (suci mikro
organisme/pathogen) merupakan salah satu prasyarat keberhasilan teknik kultur
jaringan. Setiap tahapan kegiatan dan sarana prasarana dalam teknik kultur
jaringan harus memenuhi kondisi aseptik tertentu. Bab ini akan menjelaskan
berbagai teknik untuk mengsterilkan peralatan dan bahan tanaman yang digunakan
dalam kultur jaringan. Bab ini juga menjelaskan mengenai prosedur keamanan di
laboratorium. Setelah mempelajari bab ini Mahasiswa diharapkan mengetahui dan
mampu menjelaskan berbagai teknik aseptik dan prosedur keamanan laboratorium.
4.2 Pengaturan Ruangan
Laboratorium
A. Ruangan Laboratorium
Suatu laboratorium kultur
jaringan tanaman hendaknya memiliki luas yang memadai agar dapat berfungsi
secara maksimal. Pengaturan ruangan laboratorium dapat mengakomodasi berbagai
kegiatan yang berbeda, seperti persiapan medium, sterilisasi, pencucian, dan pengeringan
alat-alat yang sudah dicuci, transfer bahan eksplan secara aseptik,
pemeliharaan kultur dalam kondisi lingkungan terkendali, penyimpanan stok media
yang belum digunakan, penimbangan bahan-bahan kimia yang bebas dari gangguan
turbulensi udara, dan aklimatisasi planlet ke kondisi in vivo (White, 1963).
Pengelompokan berbagai fungsi tersebut sangat bervariasi antara laboratorium
yang satu dengan yang lainnya.
Dalam merancang suatu
laboratorium in vitro maka fasilitas dan komponen pendukung hendaknya
disusun sebagai suatu garis produksi (Street, 1973). Ruangan tempat pencucian
dan penyimpanan perangkat gelas hendaknya menghadap ke ruangan yang terdapat
fasilitas untuk sterilisasi menggunakan oven dan fasilitas untuk persiapan
media. Alat-alat dan bahan-bahan yang sudah disterilkan dengan autoklaf,
selanjutnya dipindahkan ke ruang transfer. Setelah pekerjaan aseptik selesai,
selanjutnya kultur dipindahkan ke inkubator atau ruang kultur dengan kondisi
lingkungan yang terkendali. Penempatan kultur tersebut hndaknya berdekatan
dengan fasilitas mikroskop dan fasilitas untuk pengamatan kultur. Kultur yang
mengalami kontaminasi hendaknya segera dikeluarkan dan dibawa ke tempat
pencucian. 23
Urutan
prosedur aseptik merupakan hal yang sangat peting untuk diperhatikan. Apabila
laboratorium tidak memiliki ruang steril yang terpisah maka dibutuhkan
fasilitas kotak pindah yang dapat berupa enkas ataupun laminar air flow cabinet
(LAFC). Fasilitas tersebut harus berada di tempat yang bebas dari hembusan
angin dan juga bebas dari orang-orang yang melintas.
B. Ruang Persiapan
Yang dimaksud dengan ruang
persiapan adalah ruangan untuk segala aktivitas dalam rangka persiapan
pelaksanaan aplikasi teknik kultur jaringan. Kegiatan di ruangan ini antara
lain:
Pembuatan dan penyimpanan
larutan stok (unsur hara makro, unsur hara mikro, sumber besi, vitamin dan zat
pengatur tumbuh).
Pembuatan media mulai dari
pencampuran larutan stok, pengecekan dan penentuan pH, sterilisasi sampai pada
distribusi media ke dalam wadah-wadah kultur.
Sterilisasi medium maupun
alat-alat, seperti gelas dan alat tanam dengan menggunakan autoklaf atau oven.
Sterilisasi tahap awal
terhadap eksplan, misalnya pencucian dan perendaman di dalam fungisida,
bakterisida, ataupun larutan hipoklorit (CaOCl dan NaOCl).
Pencucian dan pengeringan
alat-alat laboratorium.
Ruangan persiapan merupakan
tempat untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengerjaan
kultur jaringan. Oleh karena itu, ruangan ini dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas,
seperti tempat mencuci alat-alat, dan tempat menyimpan alat-alat (lemari,
rak-rak dan lemari pendingin).
Alat-alat yang lazim
ditempatkan pada ruangan ini adalah alat-alat yang biasanya digunakan dalam
mempersiapkan kultur, seperti:
Autoklaf
pH meter
24
Alat-alat pecah belah,
seperti labu takar, gelas ukur, tabung Erlenmeyer, cawan Petri, pipet dan botol
kultur.
Tabung gas dan kompornya
Lemari pedingin (kulkas) dan
Freezer
Destilator/ Stok aquadest
Stok alkohol
Alat-alat dan bahan-bahan
lain yang berhubungan dengan persiapan pelaksanaan teknik kultur jaringan.
C. Ruang Transfer
Ruang transfer dikenal juga
sebagai ruang inokulasi atau ruang tanam. Sesuai namanya, di dalam ruangan ini
dilakukan kegiatan transfer, inokulasi, atau pengkulturan, yakni menanamkan
eksplan ke dalam medium cair ataupun padat.
Di dalam ruangan ini
ditempatkan alat utama yang dikenal sebagai laminar air flow cabinet (LAFC)
atau dalam bentuk sederhana berupa enkas yang dikenel sebagai kotak pindah.
Segala aktifitas penanaman dilakukan di dalam LAFC atau enkas. Di dalam ruang
transfer ditempatkan pula alat-alat lain, seperti:
Mikroskop stereo/mikroskop
deteksi yang sering digunakan pada kultur meristem.
Lampu spiritus
Alat-alat inokulasi/ diseksi
(pinset dan skalpel) yang sudah steril
Cawan-cawan Petri yang sudah
disterilisasi
Lampu ultraviolet
Lampu neon
D. Ruang Kultur
Ruang kultur merupakan suatu ruangan
untuk menempatkan botol-botol kultur yang sudah terdapat eksplan di dalamnya.
Botol-botol tersebut ditempatkan pada rak-rak kultur yang dilengkapi dengan
lampu neon dengan intensitas kira-kira 50 μmol m-2 s-1. Ruangan ini 25
dilengkapi
juga dengan AC (Air conditioner)untuk mendapatkan suhu udara yang
dikehendaki, yaitu 25±1oC. Di dalam ruagan ini terdapat pula peralatan lain,
seperti:
Timer pengatur
fotoperiodesitas (biasanya 16 jam per hari)
Termometer udara
Higrometer
Shaker (meja penggocok) untuk
kultur yang diinokulasikan pada medium cair.
Ruang kultur harus selalu
dibersihkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi terhadap
kultur, bahkan bila perlu di dalam ruangan ini ditaburi dengan tablet-tablet
formalin.
E. Ruang Stok
Ruang stok merupakan suatu
ruangan tempat menyimpan stok atau cadangan medium. Stok medium perlu
diinkubasikan terlebih dahulu, paling tidak selama 1 minggu sebelum digunakan.
Tujuan inkubasi adalah untuk memberikan kesempatan kepada spora jamur ataupun
bakteri yang tidak mati pada saat sterilisasi agar dapat berkembang lalu medium
yang nyata terkontaminasi dapat dibuang. Dengan demikian, kerugian waktu, biaya
dan tenaga akibat pemakaian medium yang terkontaminasi dapat dihindarkan.
Ruang stok ini dilengkapi
dengan rak-rak untuk menempatkan stok medium dan lampu neon yang dihidupkan
bila ada kegiatan, misalnya pada waktu penyimpanan dan pengambilan medium.
Seperti halnya ruang kultur, ruang stokpun perlu di jaga kebersihannya, agar
medium yang diletakkan diruangan ini tidak terkontaminasi.
F. Ruang Timbang
Ruang timbang merupakan suatu
ruangan tempat berlangsungnya aktivitas penimbangan bahan-bahan kimia maupun
penimbangan eksplan. Di ruangan ini, ditempatkan alat timbang berupa neraca
analitik untuk menimbang bahan dengan bobot yang kecil dan neraca digital untuk
menimbang bahan dengan bobot yang lebih besar. Selain itu, dilengkapi pula
dengan rak-rak tempat meletakkan botol-botol atau kaleng-kaleng bahan kimia
yang tidak mudah 26
rusak
pada suhu kamar, sedangkan bahan-bahan yang peka terhadap suhu tinggi, misalnya
beberapa jenis zat pengatur tumbuh disimpan di dalam lemari pendingin atau di
dalam freezer.
Penimbangan bahan-bahan kimia
dan eksplan hendaknya dilakukan seteliti mungkin di dalam ruangan khusus yang
bebas dari hembusan angin yang sedikit saja dapat menyebabkan pergerakan pada
angka penunjuk pada timbangan.
G.Ruang Aklimatisasi
Ruang aklimatisasi adalah
ruangan untuk menempatkan tanaman-tanaman mini (planlet) hasil perbanyakan
melalui kultur jaringan sebelum dipindahkan ke lapangan. Di dalam ruang atau
area aklimatisasi ini, tanaman mini akan mengalami masa-masa penyesuaian diri
dengan keadaan in vivo, terutama terhadap suhu dan kelembaban yang yang
jauh berbeda dari keadaan in vitro. Oleh karena itu, suhu dan kelembaban
di dalam ruang aklimatisasi perlu mendapat perhatian yang serius. Suhu
diusahakan lebih rendah daripada keadaan lapangan, namun lebih tinggi dari
keadaan in vitro, sedangkan kelembaban udara diatur antara 80-90%. Agar
keadaan demikian bisa diperoleh, maka di dalam ruang aklimatisasi perlu dibuat
naungan dari plastik sehingga intensitas cahaya yang masuk tidak terlampau
tinggi dan suhu pun cukup rendah. Oleh karena itu, pada ruangan ini ditempatkan
termometer udara dan higrometer untuk memantau kondisi optimal. Selain itu,
untuk mengendalikan kelembaban ruangan ini dapat dilengkapi dengan bak-bak air
atau pipa-pipa sprinkler.
4.3 Alat-Alat dalam Teknik
Kultur Jaringan
Dalam penerapan teknik kultur
jaringan, laboratorium harus dilengkapi dengan berbagai peralatan. Berikut ini
adalah beberapa peralatan dasar yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kultur
jaringan. Perlu diketahui bahwa peralatan-peralatan tersebut dapat
disederhanakan untuk pelaksanaan kultur jaringan skala rumah tangga, sepanjang
pada prinsipnya peralatan tersebut dapat menjalankan fungsi yang relatif sama.
1. Pengukur keasaman
medium (pH meter)
Untuk mengukur keasaman medium
dapat menggunakan pH meter. 27
2. Autoklaf
Pada umumnya kita mengenal 2
macam autoklaf, yaitu autoklaf yang menggunakan sumber panas dari tenaga
listrik yang disebut dengan autoklaf listrik. Ada juga autoklaf yang
menggunakan sumber panas dari pembakaran dari gas elpiji yang disebut dengan
autoklaf gas. Cara pengoperasian autoklaf listrik relatif mudah dan sederhana,
namun tergantung pada modelnya. Sekarang tersedia berbagai model dan ukuran
autoklaf listrik untuk berbagai keperluan dengan cara pengoperasian yang
relatif sama dan aman. Sedangkan autoklaf gas meskipun kelihatannya sederhana,
namun dalam pengoperasiannya harus lebih hati-hati karena menggunakan gas yang
dikhawatirkan mengalami kebocoran. Lagipula, sterilisasi bahan dan alat dengan
autoklaf ini harus senantiasa ditunggu karena tidak ada pengatur otomatis untuk
lamanya sterilisasi (semuanya diatur secara manual).
3. Laminar Air Flow
Cabinet (LAFC)
Alat ini digunakan sebagai
tempat untuk menanam eksplan. Disebut laminar air flow cabinet karena ke
dalamnya dialirkan angin dengan arah lurus (laminar) ke arah luar agar
menghembus spora-spora jamur yang mungkin beterbangan sehingga tida memasuki
botol kultur pada saat penanaman. Adapun cara pemakaian alat ini adalah sebagai
berikut:
Sebelum dipakai, terlebih
dahulu bagian dalam alat ini disemprot dengan alkohol 70%.
Setelah sterilisasi dengan
alkohol, tutup pintu LAFC dan nyalakan lampu ultraviolet (UV).
Setelah sterilisasi dengan
lampi UV, pekerjaan menanam eksplan dapat segera dimulai. Jangan lupa mematikan
lampu UV dan menyalakan lampu neon, serta menghidupkan kipas.
4. Neraca Analitik
Neraca analitik digunakan untuk
menimbang bahan-bahan yang memiliki bobot dalam jumlah yang kecil. Biasanya
kapasitas maksimum hanya ± 600 mg dengan 4-5 digit angka di belakang koma. 28
5. Hot plate dengan
pengaduk bermagnet
Alat ini berfungsi sama dengan
kompor, yakni untuk memasak dan memanaskan medium dalam pembuatan media padat.
Akan tetapi, selain memanaskan alat ini sekaligus dapat mengaduk medium yang
dimasak karena dilengkapi dengan magnetic stirrer (pengaduk bermagnet).
6. Meja penggocok
Meja pengocok (shaker) adalah
suatu alat yang sering digunakan pada kultur dengan medium cair. Fungsi alat
ini adalah sebagai meja penggocok untuk memberikan aerasi yang baik pada media
kultur.
7. Mikroskop/
fotomikrografi
Mikroskop ini penting untuk
mengamati struktur mikroskopis seperti anatomi jaringan tanaman, jaringan kalus
yang tumbuh dari eksplan, ataupun struktur dari sel dan mikrospora. Selain
berfungsi untuk pengamatan biasa, objek yang berada di bawah lensa dapat
direkam atau difoto untuk keperluan dokumentasi atau sebagai bagian dari data
percobaan karena mikroskop ini dilengkapi dengan kamera.
8. Mikroskop diseksi
Mikroskop diseksi ini berfungsi
untuk mengamati struktur kalus ataupun keadaan kultur yang lebih jelas. Selain
itu, alat ini sering digunakan pada kultur meristem, yakni sebagai alat bantu
dalam memotong atau mendapatkan meristem.
9. Distilator
Distilator merupakan alat yang
digunakan untuk membuat aquadest atau biasa disebut sebagai alat penyuling.
4.4 Bahan yang digunakan
dalam Kultur Jaringan 29
Pada
dasarnnya Pembiakan tanaman secara in vitro terdiri atas 4 kegiatan
utama, yaitu pembuatan media, sterilisasi eksplan, penanaman eksplan, dan tahap
terakhir adalah aklimatisasi. Secara umum bahan-bahan yang digunakan untuk
setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bahan untuk Pembuatan
Media
• Bahan-bahan kimia untuk
membuat media (jenis dan komposisi akan dijelaskan pada sub bab lain)
• Gula
• Agar
• Aquadest
b. Bahan untuk Sterilisasi
Eksplan • Eksplan • Aquadest •
Fungisida • Bakterisida • HgCl2 • Klorox/pemutih pakaian • Alkohol
c. Bahan untuk Penanaman
(Inokulasi) • Alkohol • Aquadest •
Eksplan
d. Bahan untuk Aklimatisasi • Tanaman • Air • Fungisida • Bakterisida • Media
(Spagnum mos, pakis, arang, sterofom) 30
4.5 Sterilisasi Alat dan Bahan
Salah satu pembatas dalam
keberhasilan kultur jaringan adalah kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap
saat dalam masa kultur. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, organisme kecil
yang masuk ke dalam media, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor,
kecerobohan dalam pelaksanaan serta botol kultur atau alat-alat tanam yang
kurang steril. Keanekaragaman sumber kontaminasi menyebabkan prosedur aseptik
yang harus diperhatikan meliputi: sterilisasi lingkungan kerja, sterilisasi
bahan tanam dan sterilisasi alat-alat dan media. Alat-alat dan aquadest yang
digunakan yang digunakan dalam penanaman harus dalam keadaan steril. Alat-alat
logam, gelas dan aquadest dapat disterilkan dalam autoklaf. Temperatur yang
digunakan untuk sterisasi adalah 121oC pada tekanan 17,5 psi (pounds per square inch)
selama 1 jam. Perhitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang
diinginkan tercapai.
Sterilisasi alat adalah proses
mematikan bakteri, spora, cendawan dan virus. Sebelum melakukan penanaman
kultur jaringan, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan
sterilisasi pada alat-alat logam dan gelas. Adapun alat-alat yang perlu
disterilkan sebelum penanaman yaitu pinset, gunting, gagang skapel, kertas
saring, Petridish, dan botol-botol.Alat-alat tersebut dapat disterilkan dengan
menggunakan autoklaf. Alat tanam seperti pinset dan gunting dapat juga
disterilkan dengan pembakaran atau dengan pemanasan dalam bacticinerator.
Khusus untuk skapel, gagangnya dapat disterilkan dengan pemanasan, namun
pisaunya dapat menjadi tumpul bila dipanaskan dengan temperatur yang sangat
tinggi. Bila botol akan disimpan untuk beberapa lama, maka sewaktu sterilisasi
mulut botol harus ditutup dengan aluminium foil.
Autoklaf yang dapat digunakan
ada bermacam-macam, mulai dari yang sederhana sampai yang dapat diprogram.
Autoklaf yang sederhana menggunakan sumber uap dari pemanasan air yang
ditambahkan ke dalam autoklaf. Kelemahan autoklaf ini yaitu perlu dilakukan
penjagaan dan pengaturan panas selama masa sterilisasi dilakukan secara manual.
Tetapi autoklaf ini mempunyai keuntungan yaitu, alat ini lebih sederhana, harga
relatif murah, dan tidak tergantung pada aliran listrik.
4.6 Sterilisasi Peralatan 31
Ada
beberapa teknik yang dapat digunakan untuk sterilisasi alat-alat yang digunakan
dalam kultur jaringan seperti misalnya gelas, erlemeyer, alat pemotong, alat
menanam, cairan/larutan, bahan-bahan kimia, dan eksplan tanaman yang akan
dikulturkan. Media dan semua peralatan yang akan digunakan dalam kultur
jaringan harus dalam keadaan steril. Jika semua alat dan bahan tidak dalam
keadaan steril, maka seluruh media akan tercemar oleh jamur dan bakteri yang
dapat mematikan eksplan yang diinisiasi atau sedang tumbuh. Ada beberapa macam
sterilisasi yang dapat dilakukan, namun jenis atau macam sterilisasi yang
digunakan tergantung dari alat dan bahan yang akan disterilisasi. Beberapa
macam proses sterilissasi misalnya adalah sterilisasi kering, sterilisasi
basah, filtrasi, kimiawi, secara fisik dengan ultra violet, maupun dengan
teknik pendinginan dan pemanasan.
Beberapa jenis atau macam
proses sterilisasi beserta contoh-contohnya akan dibahas di bawah ini dan
seyogyanya masih banyak cara lain yang bisa dilakukan dengan pencampuran atau
proses sterilisasi bertahap, sebagai berikut:
a. Sterilisasi kering
Sterilisasi kering ini hanya
dapat digunakan untuk alat-alat yang terbuat dari logam atau bahan lain yang
tidak rusak dalam pemanasan dan temperatur tinggi. Metode ini juga dapat
digunakan untuk sterilisasi gelas dan juga botol-botol. Alat-alat yang berisi
kapas, kertas atau plastik tidak dapat disterilisasi dengan metode ini. Alat-alat
lain yang dapat disterilisasi dengan metode pemanasan kering ini adalah
skalpel, pisau dan pinset.
Metode sterilisasi dengan
pemanasan kering ini dilakukan dengan menggunakan oven pengering. Temperatur
yang digunakan pada sterilisasi ini kira-kira 160o C selama 3-4 jam. Alat-alat yang
akan disterilkan terlebih dahulu harus dibungkus dengan menggunakan aluminium
foil atau kertas. Setelah alat-alat tersebut dibungkus, barulah dimasukkan ke
dalam oven. Cara lain yaitu dengan membakar alat yang terbuat dari logam pada
api bunsen hingga berwarna merah, kemudian dicelupkan ke dalam alkohol dan
dibakar kembali sebanyak 3 kali, metode ini biasanya dilakukan di dalam
Laminair Air Flow Cabinet pada waktu penanaman eksplan. 32
b. Sterilisasi dengan pemanasan basah
Metode sterilisasi dengan
pemanasan basah dapat dilakukan dengan alat autoklaf. Autoklaf bekerja dengan
menggunakan tenaga uap. Standar teknis untuk sterilisasi ini adalah tekanan uap
17,5 psi dengan temperatur 121oC selama 15-20 menit. Pada waktu mengoperasikan
autoklaf jangan tergesa-gesa menutup klep pembuang sebelum semua udara yang ada
di dalam autoklaf tergantikan oleh uap air yang mendidih, yaitu agar temperatur
121oC
dapat tercapai. Setelah 15- 20 menit klep pembuang dibuka pelan-pelan. Tekanan
uap di dalam autoklaf pelan-pelan akan sama dengan tekanan atmosfir. Pembukaan
klep pembuang yang tergesa-gesa dapat menyebabkan cairan atau media yang ada
dalam botol akan tumpah keluar. Penggunaan autoklaf lebih dari 20 menit dapat
merusak bahan-bahan kimia yang ada di dalam media.
Media dan aquades yang akan
digunakan dalam kultur jaringan juga disterilisasikan dalam autoklaf. Untuk
aquades sebaiknya dimasukkan dalam wadah kecil misalnya Erlenmeyer 250 ml
dengan isi maksimum 100 ml, agar sterilisasi lebih efektif.
c. Sterilisasi dengan
ultrafiltrasi
Komponen media memiliki sifat
yang berbeda-beda. Ada beberapa komponen media yang menjadi tidak stabil bila
terkena panas yang terlalu tinggi sehingga harus disterilisasi dengan
ultrafiltrasi pada suhu ruangan. Dengan menggunakan ultraviltrasi, larutan yang
berisi bahan-bahan yang termolabil disterilkan terlebih dahulu dan kemudian
dapat disimpan atau langsung digunakan. Bahan hasil filtrasi dimasukkan ke
dalam media agar-agar yang telah disterilisasi terlebih dahulu dengan
menggunakan autoklaf. Hal ini dikerjakan bila media agar-agar sudah agak
dingin, tetapi belum memadat.
Ada beberapa jenis
ultrafiltrasi yaitu, nukleopore filter dibuat dari polyetilen, film sekali
pakai terus dibuang. Ada juga Millipore filter yang dapat dipakai
berulang-ulang (autoclavable). Porositasnya berbeda-beda, ada yang 0,22
mikron, ada yang 0,45 mikron. Untuk larutan yang jumlahnya sedikit dapat dengan
mudah disterilisasi dengan nukleopore filter yang dipasangi siringe ( alat
injeksi). Dalam jumlah besar, sterilisasi dengan metode ini sulit dan mahal.
Tidak ada rekomendasi soal baik tidaknya untuk digunakan dalam laboratorium
untuk produksi dalam skala yang besar. 33
d. Sterilisasi dengan bahan kimia
Metode yang sederhana untuk
sterilisasi untuk substansi yang termolabil dengan alkohol 70% atau 95%.
Larutan ini dapat berfungsi sebagai bahan sterilisasi yang baik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan 5 ml alkohol 70% per liter pada media
tidak menimbulkan efek yang merugikan pada kultur. Sterilisasi permukaan pada
ruang kerja laboratorium juga dapat dilakukan dengan melap permukaan tersebut
dengan alkohol 70%.
Kontaminasi bakteri pada kultur
jaringan umumnya bersifat internal. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) bakteri
internal yang terdapat dalam eksplan, dimana umumnya sudah terjadi induksi
kalus. Salah satu metode untuk menangani kontaminasi yang sangat tinggi adalah
dengan penggunaan bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menghambat dan
membunuh bakteri (Pierik, 1987).
e. Sterilisasi dengan
menggunakan lampu UV (Ultraviolet)
Sterilisasi dengan menggunakan
lampu UV biasanya dilakukan untuk mensterilkan ruangan kultur jaringan dan juga
laminar air flow. Ada beberapa tipe laminar air flow cabinet yang dilengkapi
dengan lampu ultra violet. Sebelum melakukan kegiatan kultur, lampu ultra
violet dinyalakan selama beberapa waktu antara yaitu sekitar 1 jam, namun juga
terdapat tipe laminair yang hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk
mematikan kontaminan dipermukaan tempat kerja. Laminar air flow cabinet harus
dijaga sebersih mungkin. Setelah bekerja, permukaan tempat kerja dibersihkan
dengan alkohol 70% atau dengan lampu ultra violet selama 1-2 jam.
4.7 Sterilisasi Eksplan
Teknik aseptik merupakan salah
satu kunci keberhasilan dalam kutur jaringan. Keaseptikan harus dijaga dalam
proses pengkulturan, selain itu juga termasuk sterilisasi bahan tanaman
(eksplan). Pada tahap ini dilakukan berbagai perlakuan untuk membersihkan kotoran
yang ada di permukaan bahan tanaman (disinfektasi).
Dari semua bahan kontaminasi,
yang paling sulit diatasi adalah yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu,
dalam memilih suatu metode sterilisasi haruslah selektif, kita hanya
mengeliminasi jamur dan bakteri yang tidak diinginkan dengan gangguan seminimal
mungkin 34
terhadap
bahan eksplan. Pada prinsipnya, sukar untuk menentukan suatu metode baku yang
berlaku untuk semua jenis tanaman dan semua bagian tanaman. Secara garis besar
ada ketentuan umum, namun secara spesifik metode sterilisasi yang paling tepat
akan diperoleh dari trial and error. Cara penanganan bagaimana tanaman
yang lunak akan sangat berbeda dengan bagian tanaman yang keras ataupun biji
yang memiliki kulit keras.
Untuk menghilangkan sumber
infeksi, bahan tanaman harus disterilkan sebelum di tanamkan pada medium
tumbuh. Jaringan ataupun organ yang terinfeksi oleh jamur atau bakteri sistemik
hendaknya dibuang. Problem terbesar yang dihadapi dalam pekerjaan sterilisasi
oleh para tissue culturist adalah kontaminasi mikroba pada kultur, baik
oleh bakteri maupun jamur. Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk mengurangi
kontaminasi pada kultur jaringan, yaitu dengan menggunakan metode fisik dan
metode kimiawi. Metode fisik ditujukan untuk mengatasi kontaminasi mikroba
dengan mengurangi populasi mikroba yang ada menempel pada eksplan ataupun
berada di dalam eksplan (endogenous). Beberapa cara yang ada tersebut meliputi:
1.
Mengekspos tanaman induk dengan kondisi kekeringan selama 3-4 minggu sebelum
kultur jaringan dimulai. Tanaman diberi air yang cukup, dipupuk, dan diberi
pestisida atau fungisida jika itu perlu untuk dilakukan. Kelebihan air perlu
dihindari agar tanaman tidak busuk.
2. Pada saat milai kultur
jaringan, tanaman dicuci sampai bersih dan bagian yang tidak akan dikulturkan
segera dibuang. Pembersihan meliputi pencucian, penggosokan merata untuk
membuang semua partikel tanah dan jaringan yang mati, termasuk membuang
sebagian besar daun mengingat kebanyakan daun tidak digunakan dalam kultur.
Bahan tanaman kemudian dicuci di bawah air mengalir selama 20 menit sampai
beberapa jam, tergantung sumber bahan tanaman. Langkah ini sama artinya dengan
membuang jutaan mikroba.
Metode sterilisasi secara kimia
dapat dilakukan dengan larutan sodium hypochlorite (NaOCl). Kebanyakan
laboratorium menggunakan bleach (pemutih) yang mengandung 4% klorin.
Larutan pemutih 25 ml ang dibuat menjadi 100 ml dengan penambahan air distilasi
akan memberi konsentrasi 1% klorin. Karena kemurniannya, hypochlorite memiliki
aktifitas 35
yang
kecil pada pH melebihi 8,0 dan akan lebih efektif jika pH diatur menjadi 6,0
dengan menambahkan HCl. Untuk meningkatkan keberhasilan dengan menggunakan
klorin, langkah berikutnya semestinya diikutsertakan:
a.
Tambahkan deterjen ke larutan klorin misalnya beberapa tetes Tween-20 atau
Triton.
b.
Berikan sedikit tekanan pada perlakuan klorin. Ini dapat dilakukan dengan
desikator vakum yang disambungkan ke air atau pompa tipe lain.
c. Goyang-goyangkan (agitasi)
larutan klorin secara manual atau dengan menggunakan shaker selama periode
disinfektasi.
Perlakuan tersebut akan
meningkatkan kontak tanaman dengan larutan klorin. Lama perlakuan dengan
larutan berbeda-beda, tergantung tipe dan sensitivitas bahan tanaman. Larutan
klorin dapat membunuh mikroorganisme eksternal, namun tidak dapat mematikan
mikroorganisme internal (endogenus) dalam jaringan tanaman. Beberapa
laboratorium menggunakan antibiotik untuk membunuh kontaminan endogenus.
Meskipun antibiotik rutin digunakan dalam kultur jaringan hewan, penggunaannya
pada kultur jaringan tanaman kurang berhasil. Tidak ada antibiotik yang efektif
untuk membunuh semua mikroorganisme penyebab kontaminasi. Antibiotik dan
produk-produk turunannya di metabolisme oleh jaringan tanaman dengan hasil yang
tidak dapat diperkirakan, jadi penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari,
karena berbahaya untuk mengembangkan sistem kultur jaringan yang didasarkan
atas penambahan antibiotik ke dalam media. Alasannya adalah sebagai berikut:
a.
Tanaman yang dihasilkan mungkin masih memiliki kontaminan endogenus.
b.
Dengan menggunakan antibiotik spesifik akan dapat dihasilkan mutan tertentu
yang tidak dapat dikontrol dengan produk spesifik kimia.
c.
Kontaminan non patogenik dapat menjadi patogenik, bisa karena mutasi atau
fisik. Sesungguhnya bakteri non patogenik yang berada pada kondisi tanpa
kompetisi dengan bakteri lain dapat berubah menjadi patogenik ganas.
d. Problem kamuflase in
vitro bisa menjadi problem di kemudian hari pada kultur (misalnya layu
bakteri atau spot).
36
e. Kontaminasi bakteri dapat
menjadi problem pada akhir proses perbanyakan mikro, misalnya untuk sulit
menghasilkan akar pada tunas yang terkontaminasi.
Langkah sterilisasi eksplan
secara kimiawi adalah sebagai berikut:
a.
Siapkan tunas muda tanaman.
b.
Rendam dalam larutan fungisida dan bakterisida.
c.
Rendam ke dalam larutan desinfektan (Chlorox/klorin).
d.
Cuci dengan air steril hingga bersih dari desinfektan.
e. Tanaman dalam media inisiasi
tunas in vitro.
Penggunaan merkuri klorida
(HgCl2)
telah terbukti efektif untuk sterilisasi bahan tanaman yang berasal dari
lapangan. Roy et al., (1990) menggunakan 0,5% HgCl2 sebagai bahan
sterilisasi eksplan nodus tanaman nangka dengan hasil yang memuaskan sedangkan
Hadiyono dan Zulkarnain (1991) menggunakan 0,05% HgCl2 untuk
sterilisasi eksplan nodus tanaman lada dengan hasil baik. Meskipun demikian,
penggunaan HgCl2 merupakan pilihan terakhir jika bahan-bahan lain
ternyata tidak mampu memusnahkan mikroorgnisme yang menginfeksi bahan tanaman.
Hal itu dikarenakan sifat senyawa tersebut yang sangat beracun sehingga
memerlukan penanganan yang sangat berarti. Jika menggunakan HgCl2, sisa
larutannya harus dikumpulkan dalam suatu wadah kemudian dibuang di suatu tempat
yang tidak akan mencemarkan sumber air minum (jangan dibuang ke dalam
wastafel).
Etil dan isopropil alkohol
dapat pula digunakan untuk sterilisasi bahan tanaman. Setelah direndam dalam
etanol selama beberapa detik, bahan eksplan dapat dibiarkan terbuka di dalam
laminair air flow cabinet sampai semua alkohol menguap (Kao dan Michayluk,
1980) atau dapat dibakar (Bhojwani, 1980). Etil alkohol dinyatakan kurang
efektif untuk sterilisasi eksplan tunas Coffea arabica dibandingkan
dengan campuran fungisida-antibiotik-sticker (Saldana et al.,1993).
Hasil yang sama diperoleh pada tanaman Guichenotia macranatha, hanya 90%
dari eksplan biji yang bebas dari kontaminasi, sedangkan penggunaan natrium dan
kalsium hipoklorit mencapai 100% (Zulkarnain,1995).
Pada umumnya, jika eksplan yang
digunakan keras dan cukup besar maka dapat segera disterilisasi dengan
disinfektan. Pada kultur biji atau endosperm dewasa tanaman 37
Euphorbiaceae,
sterilisasi dilakukan terhadap seluruh biji atau biji-biji yang dikupas. Bilam
ovul, embrio, atau endosperm muda yang akan dikulturkan maka metode yang
dipakai adalah mensterilkan ovari atau ovul dan mengambil eksplan di bawah
kondisi aseptik, sehingga jaringan inokulum yang lunak terlindung oleh bahan
sterilisasi yang bersifat racun. Sama halnya denga kultur antera, tunas bunga
disterilkan dan eksplan antera diisolasi secara aseptik. Eksplan tersebut
biasanya bebas dari kontaminasi jasad renik (Quak, 1977; Zulkarnain, 2003).
Perendaman bahan tanaman dalam
etanol 70% selama 30 detik sebelum disterilisasi atau penambahan beberapa tetes
surfaktan, seperti Triton-R, Tween 20, atau Tween 80 dapat meningkatkan
efektifitas bahan sterilisasi tersebut. Setelah perlakuan sterilisasi, bahan
tanaman harus dibilas dengan air steril 3 atau 4 kali untuk menghilangkan sisa-sisa
bahan sterilisasi (Quak, 1997). Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk
sterilisasi eksplan, beserta konsentrasi yang digunakan dan lama perendamannya
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan kimia yang digunakan untuk sterilisasi
eksplan, konsentrasi, dan lama perendaman No
|
Bahan
|
Konsentrasi
|
Lama Perendaman
|
1
|
Kalsium hipoklorit
|
1-10%
|
5-30 menit
|
2
|
Natrium hipoklorit
|
1-2%
|
7-15 menit
|
3
|
Hidrogen peroksida
|
3-10%
|
5-15 menit
|
4
|
Perak nitrat
|
1,0%
|
5-30 menit
|
5
|
Merkuri klorida
|
0,1- 0,2%
|
10-20 menit
|
6
|
Gas klorin
|
-
|
60-240 menit
|
7
|
Betadine
|
2,5-10 %
|
5-10 menit
|
8
|
Benlate
|
2 gram/l
|
20-30 menit
|
9
|
Antibiotik
|
50 mg/l
|
30-60 menit
|
10
|
Alkohol
|
70%
|
½-1 menit
|
DAFTAR PUSTAKA
Hendaryono, D.P.S. dan A.
Wijayani. 1994. Teknik kultur
jaringan. Kanisius. Yogyakarta. pp.139.
Nugroho, A. dan H. Sugito. 2005. Teknik kultur jaringan. Penebar Swadaya.
Jakarta. pp.71.
Prihandana, R. dan R.
Hendroko. 2006. Petunjuk budi daya
jarak pagar. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. pp.83.
Yusnita. 2005. Kultur jaringan cara
memperbanyak tanaman secara efisien. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. pp.103.
3 Response to "KULJAR DAN VARIASI DIDALAMNYA."
Izin baca.Kultur Jaringan di Indonesia sebaiknya di perbanyak di setiap kabupaten kota,sebagai centra amanat rakyat.DPR MPR hrs memikirkan anggaran besar untuk agricultural negri ini agar maju.Aplikasi perkebunan kurma jg harus diwujudkan agar pohon jutaan kurma di indonesia tdk mandul jd alternatif pakan kedepan dan jadi bisnis besar buat pundi negara atau rakyat.amien
Hubungkan ke facebook.com sebagai medsos.
Http//:www.facebook.com
Hubungkan ke twitter>
http://www.twitter.com
Post a Comment